Banyakcara yang bisa dilakukan seorang muslim untuk memuliakan tetangganya. Berikut di antaranya: 1. Saling berbagi Rezeki kepada tetangga. Saling berbagi rezeki kepada tetangga merupakan adab yang baik, bahkan Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada ummatnya untuk tidak kikir dan saling berbagi walau hanya dengan makanan yang sedikit. Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan mengucapkan salam, baik saat memasuki rumah orang lain mau pun bertemu sahabat di jalan. Bahkan Allah SWT melarang umat Islam masuk ke rumah orang lain sebelum mengucapkan hadits dibawah yang menjelaskan tentangفَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْArtinya“…Maka apabila kamu memasuki suatu rumah hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri…” QS an-Nur [24] 61.Allah SWT berfirman di dalam Surat An-Nur ayat 27 yang artinya“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Keutamaan mengucap salam juga diriwayatkan dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih dari Abdullah bin Amr bin al-Ash,” Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Islam apakah yang paling baik?’ Beliau Rasulullah SAW menjawab, Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal.”Betapa pentingnya meminta izin sebelum memasuki sebuah rumah yang bukan milik sendiri. Cara ini merupakan salah satu kaidah dalam begitu indah akhlak seseorang yang selalu mengawali ucapan salam kepada siapa pun yang ditemuinya. Sabda rasullullahوعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام“Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” HR Abu Dawud dan Tirmidzi.Kaidah salam yang lain juga mengatur rendah dan tingginya suara saat mengucapkan salam. rutama ketika malam salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi Mengucapkan SalamDiriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda“Yang muda memberi salam kepada yang tua. Yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang lebih banyak.”Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Dan anak kecil mengucapkan salam kepada yang lebih besar.”Adapun hadits dari Nabi SAW yang berbunyiوَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِNabi SAW bersabda, “Siapa yang memulai salam ketika bertemu dengan orang, maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Keempatوَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُNabi SAW bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.”Memberikan salam kepada saudara muslim sangat dianjurkan, lalu bagaimanakah hukum menjawab salam dari seorang muslim?Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Hal ini dipertegas dalam surat An-Nisa ayat 86, dimana Allah SWT berfirmanوَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًاArtinya “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”.Selain itu menjawab salam kepada sesama muslim adalah hal baik bagi orang yang mengucapkan salam tersebut untuk dijawab atau Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabdaحقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ“Hak sesama Muslim ada lima membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” HR. Bukhari Muslim salam disebut juga tahiyyatul islam dan sesungguhnya ucapan salam ini jauh lebih baik dari pada sebuah sapaan gaul. Seperti yang saat ini umum digunakan oleh generasi muda yang telah dirasuki oleh tradisi budaya barat. Jika Salam yang Tidak Dijawab?Apabila kita mengucapkan salam berarti kita sedang mendoakan keselamatan kepada orang yang kita berikan salam. Adapun doa ini akan dibalas oleh doa malaikat untuk orang yang mengucapkan orang yang kita berikan salam tidak menjawab salam kita. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda“Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka, namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka”.Macam-macam Adab SalamMengucapkan bertemu dan hendaknya didengar pihak yg diberi secara lengkap lebih bersalam sebelum didahului yg lain yang muda bersalam kepada yg salam kepada mereka yg membuang bersalam kepada orang kafir. Ada hukum bersalaman dengan non muslim yang patut kamu adab-adab yang bisa kita perhatikan dalam mengucapkan dan menjawab salam. Semoga menambah wawasan kita bersama. Bagaimanadengan perempuan yang sedang haid datang bulan. Bolehkah perempuan haid ke kuburan, apa saja yang dibolehkan dan dilarang, berikut adab wanita ziarah kubur. Menjawab hal ini Peneliti El Bukharie Instute, Moh Juriyanto menyampaikan ulasannya dikutip dari bincangsyariah. Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-09 ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ Biarkan aku apa yang aku biarkan kepada kalian. Sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang sesuatu atas kalian maka tingggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Humaidi, Ibn Hibban, Abu Ya’la, dll Hadis ini dikeluarkan oleh al-Humaidi dari Sufyan. Imam Ahmad mengeluarkannya dari Yazid dari Muhammad bin Ishaq. Imam al-Bukhari mengeluarkannya dari Ismail bin Abi Uwais dari Malik. Imam Muslim mengeluarkannya dari Qutaibah bin Said dari al-Mughirah al-Hizami dan dari Ibn Abi Umar dari Sufyan. Abu Ya’la mengeluarkannya dari Wahab dari Khalid, dari Abdurrahman bin Abi Ishaq al-Madini. Ibn Hibban mengeluarkannya dari al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi, dari Ibrahim bin Basyar dari Sufyan. Kelimanya Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Ishaq, Malik, al-Mughirah al-Hizami, Abdurrahman bin Ishaq al-Madini dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ad-Dawsi ra. Imam Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan lainnya juga mengeluarkan hadis tersebut dengan redaksi sedikit berbeda melalui beberapa jalur dari penuturan Abu Hurairah ra. Imam an-Nawawi memasukkan hadis ini dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah hadis ke sembilan. Hadis ini termasuk bagian dari salah satu pokok ajaran agama, yang memberikan tuntunan sikap bagi seorang Muslim terhadap larangan dan perintah. Lafal dzarûnî … wa ikhtilâfihim alâ anbiyâihim meski redaksinya berita, maknanya adalah larangan menyelisihi nabi dan banyak bertanya. Menyelisihi nabi sudah diketahui oleh semua bahwa hukumnya adalah haram. Adapun bertanya maka qarinah yang ada menunjukkan larangan itu bermakna makruh dan itu pun hanya untuk jenis pertanyaan tertentu, bukan umum untuk semua pertanyaan. Sebab, Allah SWT justru memerintahkan untuk bertanya kepada ulama jika kita tidak tahu QS an-Nahl [16] 43; al-Anbiya’ [24] 7. Dalam beberapa hadis Rasul saw. juga memerintahkan untuk bertanya. Begitupun para Sahabat banyak bertanya kepada Rasul saw., beliau tidak melarangnya dan beliau pun menjawab pertanyaan mereka. Ringkasnya, pertanyaan itu ada dua jenis. Pertama pertanyaan yang dilarang. Di antaranya pertanyaan yang menimbulkan keraguan tasykîkiyah dalam akidah atau tentang kelayakan syariah. Juga pertanyaan tentang perkara yang berada di luar jangkauan akal manusia, seperti pertanyaan tentang ruh nyawa, tentang zat Allah, tentang zat/hal gaib, tentang jin, malaikat, dsb. Juga dilarang pertanyaan dalam rangka mendebat li al-jidâl, pertanyaan yang berputar-putar menyulitkan untuk membuat yang ditanya agar tampak bodoh as’ilah ta’annutiyah dan pertanyaan untuk mengejek atau memperolok istihzâ’. Begitu pula dilarang pertanyaan tentang detil suatu masalah secara berlebihan yang sebenarnya tidak perlu tanathu’i, seperti pertanyaan apakah haji diwajibkan setiap tahun, yang menjadi asbabul wurud hadis ini. Juga pertanyaan yang dibuat-buat takalluf atau pertanyaan yang mengada-ada; termasuk pertanyaan kalau, jika, seandainya begini bagaimana; yakni tentang sesuatu yang bersifat asumtif, bukan yang faktual atau dugaan kuat akan dijalani atau dihadapi. Dalam hal ini, para Sahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in, tidak menyukai pertanyaan tentang sesuatu yang belum ada atau belum terjadi karenanya mereka bersikap tawaquf tidak mau menjawab atau membahasnya. Kedua pertanyaan yang diperintahkan dan disyariatkan, yaitu pertanyaan dalam rangka ta’lim, di antaranya agar lebih paham atau lebih jelas memahami nas dan hukum. Juga pertanyaan dalam rangka pengajaran untuk pembelajar yang lain supaya pelajaran yang diberikan guru, deskripsinya jadi lebih jelas, lebih lengkap atau lebih mudah dipahami para pembelajar. Bahkan bagi orang yang akan melakukan sesuatu dan dia belum/tidak tahu hukumnya, maka bertanya tentang hukum sesuatu itu sebelum dia melakukannya adalah wajib. Sebab, tanpa itu dia tidak akan bisa melaksanakan kewajiban terikat dengan syariah dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu. Hadis ini memberi tuntunan sikap seorang Muslim. Terhadap perintah, dilaksanakan sesuai batas kemampuan. Maknanya bukanlah minimalis, tetapi justru maksimalis. Sebab, makna istitha’ah adalah aqsha thâqah kemampuan maksimal. Adapun larangan, maka ditinggalkan, dan itu tanpa dikaitkan dengan istithâ’ah. Sebab, meninggalkan adalah manahan diri, tidak melakukan, atau tidak mengambil yang dilarang itu, atau berhenti lalu menjauhinya jika terlanjur dikerjakan. Hadis ini mengisyaratkan bahwa dari pada menyibukkan diri dengan pertanyaan yang dilarang itu, hendaknya seorang Muslim lebih menyibukkan diri memahami apa yang dibawa oleh Nabi baik al-Quran maupun as-Sunnah, mendalami maknanya dan menggali hukumnya bagi yang mampu atau memahami hukum-hukum yang digali darinya oleh para mujtahid. Semuanya dalam rangka mempedomani dan mengamalkannya. Jika itu termasuk perkara pembenaran, hendaklah menyibukkan diri untuk membenarkannya baik ghalabah zhan ataupun mengimaninya sesuai tuntutan nas itu. Jika merupakan perkara amaliah, hendaklah mengerahkan segenap daya upaya untuk melaksanakannya sesuai batas kemampuan jika itu berupa perintah; dan meninggalkan serta menjauhinya jika berupa larangan. Jika masih ada waktu lebih, bolehlah memikirkan hukum apa yang mungkin akan terjadi menurut asumsi dengan maksud untuk dipedomani andai benar terjadi. Jadi tafaqquh fi ad-dîn itu terpuji jika untuk amal dan tercela jika untuk riya dan perdebatan, apalagi untuk menimbulkan kerancuan, kebingungan dan keraguan di banyak orang. WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]

لَيْسَمِنَ الأَدَبِ أَنْ تُجِيْبَ مَنْ لاَ يَسْأَلُكَ “Bukan merupakan adab yang baik, (yaitu) engkau menjawab pertanyaan orang yang tidak bertanya kepadamu.” __________________ Siyar A’lam An-Nubala 6/409 Waspada Banyak Kematian Mendadak Di Akhir Zaman Menghadapi Suami Yang Suka Menjelek-Jelekkan Istri Hukum Shalat Di Pesawat

Apakah adab-adab bertanya yang perlu kita ketahui dan amalkan? Artikel ini akan membahaskan 10 adab bertanya yang perlu dipelajari oleh kita. Pengenalan Bertanya merupakan satu perkara yang penting untuk akses kepada pengetahuan. Tanpa bertanya, kitatidak akan mendapat apa-apa jawapan. Seperti pepatah orang Melayu, “Malu bertanya, sesat jalan.” Setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu. Ingin tahu tentang sesuatu. Jadi, macam mana hendak menjadi tahu? Jawabnya, haruslah bertanya. Namun, ada orang pernah berkata, banyak bertanya itu boleh membawa kepada kesesatan. Betulkah? Dalam Surah an-Nahl ayat 43, Allah berfirman Oleh itu bertanyalah kamu wahai golongan musyrik kepada orang-orang yang berpengetahuan agama jika kamu tidak mengetahui. Ayat ini jelas memberitahu kita untuk bertanya kepada pakar atau orang yang tahu sekiranya kita tidak tahu. Jadi, ia merupakan galakkan untuk bertanya supaya kita dapat akses kepada ilmu. Kisah Tauladan Tentang Adab Bertanya Terdapat satu kisah, seorang sahabat keluar bermusafir lalu luka. Selepas luka itu pula, dia mimpi malam lalu keluar air mani. Disebabkan itu, dia hendak bertayamum kerana kalau kena air, ia akan membahayakan luka itu tadi. Sahabat seorang lagi tidak benarkan. Sampailah, dia tetap menggunakan air seperti biasa dan akhirnya meninggal dunia. Cerita ini sampai kepada Rasulullah. Jawab Rasulullah Mereka telah membunuhnya dan Allah akan membunuh mereka. Kenapakah mereka tidak bertanya sekiranya tidak tahu? Hanya dengan bertanya boleh menghilangkan keraguan. Sebenarnya memadai dia bertayamum dan membalut lukanya dengan kain perca, seterusnya menyapu air di atas balutan dan mandi ke seluruh badannya. Riwayat Abu Daud Kalau tidak tahu, kena tanya dahulu. Bukannya memandai-mandai. Menjaga Adab Bertanya Jadi, bilamana yang tidak boleh bertanya? Mudahnya, bilamana ia tidak akan membawa manfaat. Allah berfirman dalam Surah al-Maidah ayat 101 Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu bertanyakan kepada Nabi perkara-perkara yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu, dan jika kamu bertanya mengenainya ketika diturunkan Al-Quran, tentulah akan diterangkan kepada kamu. Allah maafkan kamu dari kesalahan bertanyakan perkara-perkara itu yang tidak dinyatakan di dalam Al-Quran; kerana Allah Maha pengampun, lagi Maha penyabar. Kadang-kadang, terdapat orang yang ingin menunjukkan “pengetahuannya” lalu bertanya soalan yang bukan-bukan dan tidak berfaedah. Ini merupakan 10 adab bertanya 1-Ucapkan Salam Pembuka komunikasi merupakan satu entiti yang penting. Ia penting untuk membina hubungan yang harmoni sebelum perbualan pergi lebih jauh. Allah berfirman dalam Surah Yunus ayat 10 Dan ucapan penghormatan mereka padanya ialah Selamat sejahtera. Menurut pakar bahasa Melayu, Prof. Asmah Haji Omar memanggil ini sebagai pembuka komunikasi. Ia amat penting untuk menjamin kelangsungan suatu peristiwa komunikasi. 2- Gunakan Pertuturan Yang Santun Allah berfirman dalam Surah Taha ayat 44 Maka hendaklah kamu berdua berkata kepadanya dengan ucapan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia mengambil peringatan atau berasa takut. Sebelum bertanya, hendaklah kita pastikan nada suara dan gaya pertuturan kita itu santun. Pertuturan yang biadab akan menghadirkan rasa tidak senang kepada teman bicara. 3- Minta Izin Mintalah izin sebelum bertanya, mungkin pertanyaan itu boleh mengganggu teman bicara dan sebagainya. Meminta izin menunjukkan ketinggian budi kita sebagai manusia biasa. 4- Lihat Keadaan Pastikan keadaannya sesuai untuk bertanya soalan tersebut. Janganlah bertanya dalam situasi-situasi yang sensitif sebagai contoh. Misalnya, apabila terdapat kematian, janganlah kita bertanya macam-macam kepada keluarga si mati seperti kita tidak empati dengan keadaan mereka yang sedang bersedih. 5- Jaga Sensitiviti Sensitiviti perlu dijaga. Contohnya, isu perkauman, politik, agama dan sebagainya. Tanyalah dalam situasi yang tepat. Contoh situasi, dalam kuliah perbandingan agama. Bolehlah kita bertanya tentang agama orang lain dan sebagainya. Janganlah kita tanya soalan berkenaan di kenduri kahwin pula. Ia tidak sesuai. 6- Tanyalah Soalan Yang Munasabah Munasabah di sini ialah soalan tersebut betul-betul berkaitan. Bukannya untuk mengorek rahsia, peribadi dan aib seseorang, memperolok-olokkan dan lain-lain. Lihat Surah al-Isra’ ayat 85 Dan mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” Ayat ini menunjukkan soalan yang tidak munasabah. Kalau kita tahu tentang keadaan roh itu pun, apa yang akan terjadi? Apakah iman kita akan bertambah kuat? Adakah kita akan lebih beragama dan sebagainya? Ayat ini menceritakan sekumpulan orang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah. Namun, pertanyaan itu tidak munasabah dan tidak boleh menghasilkan apa- apa ilmu. Apatah lagi ia berkait tentang alam ghaib. 7- Jangan Melakukan Provokasi Kadang-kadang, ada juga orang yang bertanya sengaja buat provokasi kepada seseorang. Ini tidak elok. Bertanyalah dengan tujuan yang murni. Untuk mendapatkan jawapan supaya puas hati dan sebagainya. Bukannya untuk menjatuhkan seseorang, membuat seseorang berasa terancam dan sebagainya. 8- Pilihlah Perkataan Yang Betul Untuk bertanya pun, mesti menggunakan perkataan yang betul. Tidak boleh kita secara semberono bertanya. Mungkin perkataan yang kita tidak sedar kita gunakan itu boleh menyinggung perasaan orang lain. 9- Jangan Menyampuk Apabila kita bertanya, kita perlu berikan giliran bercakap kepada orang yang menjawab. Janganlah kita memotong ketika dia sedang bercakap. Berikan dia masa untuk habis menjawab. 10- Ucapkan Terima Kasih Rasulullah bersabda Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi sesiapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia. Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi Sebagai penutup, kita hendaklah berterima kasih kepada jawapan-jawapan yang diberikan kepada orang yang menjawab. Adab-Adab Lain Yang Perlu Diketahui Rujukan 5 adab ketika bertanya -getaran. myUcapan Salam myBanyak bertanya dalam konteks seorang pelajar -irsyad fatwa my
DebatIslam vs Kristen 2022, Debat Mualaf 2022, Debat Islam vs Kristen 2021, debat islam vs Kristen, debat islam dan Kristen, debat islam vs Kristen Terbaru
DALAM belajar kita membutuhkan panutan yang bisa mengajarkan ilmu. Dan dia adalah seorang guru. Ya, guru merupakan sosok yang mampu dan mau secara sukarela mentransfer ilmu kepada muridnya. Kita, sebagai orang yang menerima, perlu adanya keseriusan dalam menerima ilmu yang diberikan. Keseriusan dalam belajar, bukan hanya fkus pada materi pembelajaran saja. Guru pun perlu kita perhatikan. Sebab, gurulah yang mempunyai peran penting dalam pemberian ilmu kepada kita. Maka, ketika guru ada di depan kita, kita perlu memperhatikan ada-adab tertentu. Dan dalam Islam, sedikitnya ada 4 adab yang harus kita perhatikan. Apa sajakah itu? 1. Adab dalam Mendengarkan Pelajaran Bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaimana perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel. Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka. Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al-Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran. Yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain. Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu saat ini. Jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit suara pun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya. Belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya. 2. Adab Bertanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl 43. Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Di dalam Al-Quran terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa Alihi Salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu, “Khidir menjawab, sungguh, engkau Musa tidak akan sanggup sabar bersamaku,” QS. Al-Kahfi 67. Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir. “Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya,” QS. Al-Kahfi 70. Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, “Barakallahu fiik”, atau “Jazakallahu khoiron”, dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan shalat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya.” 3. Adab Berbicara Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para Sahabat Nabi ﷺ, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut. Mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya. Bahkan, Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah. Di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di hadis Abi Said Al-Khudry Radhiallahu Anhu juga menjelaskan, “Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah ﷺ kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara,” HR. Bukhari. 4. Adab Duduk Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.” Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.” Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.” Keempat hal itu perlu untuk kita perhatikan. Sebab, guru adalah panutan. Guru sumber ilmu. Dan kita tidak tidak akan mengetahui akhlak mulia seorang guru dan ilmu bermanfaat darinya jika kita tidak melakukan ada-adab tersebut dengan baik. Oleh karena itu, raihlah keberkahan dalam menuntut ilmu dengan memperhatikan adab-adab kepada guru. [] SUMBER

Akumenjawab, ‘Dari Kufah’. Imam Malik Rohimahullah menjawab, ‘Lalu dimanakah engkau tinggalkan adab ?’ Akupun menjawab, ‘Sesungguhnya aku bertanya kepadamu dalam rangka mengambil manfaat darimu’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya ‘Ali dan Abdullah bin Mas’ud abdullah dua orang yang tidak perlu diragukan keutamaannya.

Ditulis oleh Al-Ustadz Fahmi Abu Bakar Jawwas Al-Madinah, KSA الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما Syaikh Muhammad Al-Imaam hafidzahullaah berkata, “Dan Imam Asy-Syatibi rahimahullaah telah memperhatikan dengan menyebutkan di beberapa tempat yang dibenci di dalamnya suatu pertanyaan, kita meringkasnya sebagai berikut Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Tampak dari pertanyaan, penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. Dan larangan di dalamnya tidaklah sama, tetapi disana ada yang sangat dibenci, dan ada juga yang ringan, dan ada juga yang diharamkan dan ada juga tempat bagi ijtihad.” Al-Ibaanah 139. Keterangan ‎ 1. Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Seperti pertanyaan Abdullaah bin Hudzaafah radiyallaahu anhu kepada Rasulallaah shalallaahu alaihi wa sallam, “Siapakah ayahku?” 13/265 no. 7294, Muslim 4/1832 no. 2359 dari hadits Anas bin Maalik radhiallaahu anhu 2. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Seperti pertanyaan bani Israil kepada Nabi Musa alaihis salaam وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ٦٧قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ ٦٨قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ ٦٩قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ ٧٠قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ البقرة “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk untuk memperoleh sapi itu.” Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. QS. Al-Baqarah 67-71. 3. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Dan ini adalah khusus bagi yang belum diturunkan hukum di dalamnya. Hadits Rasulallaahu shalallaahu alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah aku dengan apa-apa yang telah aku wariskan kepada kalian karena sesungguhnya kebinasaan kaum sebelum kalian itu dengan banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, apa-apa yang telah aku larang darinya maka jauhilah, dan apa-apa yang telah aku perintahkan kepadanya, lakukanlah semampu kalian.” 13/251 no. 7288, Muslim 2/975 no. 1337 dari hadits Abu Hurairah radiyallaahu anhu 4. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Seperti larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallaam tentang mencari kekeliruan ulama haditsnya dhaif, dan perkara ini masuk kedalam no. 1 dan no. 3. Berkata Ash-Shan’ani rahimahullaah dan sesungguhnya larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallam yaitu mencari kekeliruan ulama agar mereka di bilang tergelincir dan akan menimbulkan fitnah, sesungguhnya pelarangan itu dikarenakan tidak bermanfaat di dalam agama, dan hampir-hampir tidak di dapati kecuali di dalam permasalahan yang tidak bermanfaat Subul As-Salaam. 5. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Seperti pertanyaan Mua’dzah bin Abdillaah rahimahallaah kepada Aisyah radiyallaahu anha tentang qadha puasa tanpa mengqadha shalat bagi wanita yang haidh. Aisyah radiyallaahu anha berkata, “Apakah kamu seorang Haruuriyyah yaitu tempat berdiamnya khawarij?.” HR. Muslim 1/265 no 335. 6. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Ini relatif tergantung pada perseorangan, kadang menurut si A pertanyaan itu beban baginya tetapi menurut si B itu bukan beban. قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ “Katakanlah hai Muhammad, “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang membeban-bebankan.” QS. Shaad86 7. Tampak dari pertanyaan,penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Hadits tentang lalat, melihat Allah subhanahu wa Ta’ala, dll. 8. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan seseorang kepada Imam Malik rahimahullaah mengenai Istiwaa Allah. Allah berfirman, هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ ال عمران٧ Artinya, “Dia-lah yang menurunkan Al kitab Al Quran kepada kamu. di antara isi nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal. 7. 9. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Telah ditanya Umar bin Abdil Aziiz rahimahullaah tentang peperangan Shiffiin. Beliau rahimahullaah berkata , “Itu adalah darah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kedua tanganku, maka aku tidak ingin menodainya dengan lisanku.” diriwayatkan oleh Al-Khaththaabi di dalam kitab Al-Uzlah 136, Ibnu Abdil Barr di dalam Jaami’ Al-Bayaan Al-Ilm 2/934. 10. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah atas kebenaran isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” QS. Al-Baqarah 204 Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ “Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” Muttafaqun alaihi Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu berkata Rasulullaah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ{ “Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” QS. Az-Zukhruf 58 [ dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani rahimahullaah di dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633] Kebanyakan faedah diambil dari Al-Muwaafaqaat 4/319-321 Yang mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya Abu Bakr Fahmi Abubakar Jawwas Darul Hadits bisy Syiher harasahallaah Hadramaut 3 Rabi’uts Tsaani 1432 H / 8 Maret 2011 Published Ditulis dalam artikel islami, ilmu, islam, Nasehat, Tanya Jawab, ummat islam
KetahuiKisaran Gaji Pasaran Sebelum Menyatakan Berapa Gaji Yang Diharapkan. 3 3. Sesuaikan dengan Kemampuan. 1. Pikirkan Estimasi Berapa Gaji yang Diharapkan. Kebanyakan perusahaan menggunakan pertanyaan mengenai gaji yang Anda harapkan sebagai sebuah taktik. Ada juga perusahaan yang meminta kandidat untuk menuliskan besarnya gaji yang ◾ 12 Adab Bertanya Di Sosial Media ◾ Ikhlaskanlah diri karena Allah dalam bertanya, dan niatkan itu sebagai ibadah. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut dugaannya yang kuat ia mampu untuk menjawab pertanyaan. Memulai pertanyaan dengan salam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa yang bertanya kepada kalian sebelum ia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya” HR. Ibnu an-Najar, hadits dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadits dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816 Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka dipahami bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan dan telah menghidupkan sunnah. Hendaknya memperbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan dan mengingatkan dari segala kejelekan. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. Ketika telah selesai menulis pertanyaan maka sampaikan perkataan terima kasih, dan mendoakan ustadz yang akan menjawabnya. Janganlah mengadu domba diantara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz fulan telah berkata begini dan begitu”, dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya maka hendaknya berkata “Bagaimana pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu ?” Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan Hendaknya bersabar dalam menunggu jawaban yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga atau orang lain sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Jika masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. Hendaknya penanya tidak marah atau tersinggung ketika diluruskan pemahamannya atau cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata وقد كان السلف يحبون من ينبههم على عيوبهم ونحن الآن في الغالب أبغض الناس إلينا من يعرفنا عيوبنا ! Janganlah bertanya hanya sekedar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan, atau sekedar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya, penanya bertanya kepada seorang ustadz, karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu ia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya, dan jika jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mengingatkan kekurangan mereka, akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat benci kepada orang yang mengingatkan kekurangan kita” Minhajul Qashidin hal 196. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz jika ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi rahimahullah berkata “Orang alim ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya atau karena dia lupa” Irsyaad al-Ariif 1/24. Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya mengapa diri ini selalu cenderung kepada dosa dan maksiat serta sulit diajak untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, padahal saya sudah berusaha untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu dan berdoa kepada Allah agar dikuatkan iman ? Semoga ustadz beserta keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah Ta’ala. شكرا و جزاك الله خيرا ✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar
LaluQatadah bertanya kepada Anas, 'Kalau makan bagaimana?' Ia pun menjawab: 'Hal itu (makan dengan cara berdiri itu) lebih busuk dan jahat'." 6. Makan dan minum secukupnya. Itulah adab makan dan minum dalam Islam yang harus diajarkan dan ditanamkan pada anak sejak dini. Adab di atas dapat dijadikan pembelajaran serta bentuk rasa syukur
Adab Berbicara 1. Semua pembicaraan harus kebaikan, QS 4/114, dan QS 23/3, dalam hadits nabi SAW disebutkan “Barangsiapa yang beriman pada Allah Subhanahu Wata’ala dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” HR Bukhari Muslim 2. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadits Aisyah ra “Bahwasanya perkataan Rasulullah Saw itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” HR Abu Daud 3. Seimbang dan menjauhi berlarut-larutan, berdasarkan sabda nabi shallallahu alaihi wasallam “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak bercakap dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan Wahai Rasulullah kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi shallallahu alaihi wasallam “Orang-orang yang sombong.” HR Tirmidzi dan dihasankannya 4. Menghindari banyak berbicara, karena khuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki Wahai abu Abdurrahman gelar Ibnu Mas’ud! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau menjawab kuatir membosankan kami HR Muttafaq alaih 5. Mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan, dari Anas ra bahwa adalah nabi SAW jika berbicara maka beliau shallallahu alaihi wasallam mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan apabila beliau shallallahu alaihi wasallam mendatangi rumah seseorang maka beliau shallallahu alaihi wasallam pun mengucapkan salam 3 kali. HR Bukhari 6. Menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah Subhanahu Wata’ala keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah Subhanahu Wata’ala mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” HR Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah 7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” HR Ahmad dan Tirmidzi Dan dalam hadits lain disebutkan sabda nabi shallallahu alaihi wasallam “Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” HR Abu Daud 8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Bukanlah seorang mu’min jika suka mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” HR Tirmidzi dengan sanad shahih 9. Menghindari banyak canda, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi Allah Subhanahu Wata’ala di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” HR Bukhari 10. Menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk, berdasarkan QS 49/11, juga dalam hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya 11. Menghindari dusta, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” HR Bukhari 12. Menghindari ghibah dan mengadu domba, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam “Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” HR Muttafaq alaih 13. Berhati-hati dan adil dalam memuji, berdasarkan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata nabi “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” 2 kali, lalu kata beliau “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah Cukuplah si fulan, semoga Allah mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi Allah, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” HR Muttafaq alaih dan ini adalah lafzh Muslim Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. HR Muslim BACA JUGA Bicara Lebih Mudah daripada Bekerja Adab Mendengar 1. Diam dan memperhatikan QS 50/37 2. Tidak memotong/memutus pembicaraan 3. Menghadapkan wajah pada pembicara dan tidak memalingkan wajah darinya sepanjang sesuai dengan syariat bukan berbicara dengan lawan jenis 4. Tidak menyela pembicaraan saudaranya walaupun ia sudah tahu, sepanjang bukan perkataan dosa. 5. Tidak merasa dalam hatinya bahwa ia lebih tahu dari yang berbicara Adab Menolak / Tidak Setuju 1. Ikhlas dan menghindari sifat senang menjadi pusat perhatian 2. Menjauhi ingin tersohor dan terkenal 3. Penolakan harus tetap menghormati dan lembut serta tidak meninggikan suara 4. Penolakan harus penuh dengan dalil dan taujih 5. Menghindari terjadinya perdebatan sengit 6. Hendaknya dimulai dengan menyampaikan sisi benarnya lebih dulu sebelum mengomentari yang salah 7. Penolakan tidak bertentangan dengan syariat 8. Hal yang dibicarakan hendaknya merupakan hal yang penting dan dapat dilaksanakan dan bukan sesuatu yang belum terjadi 9. Ketika menolak hendaknya dengan memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara, tidak berbicara di luar kemampuan lawan bicara yang dikuatirkan menjadi fitnah bagi diri dan agamanya 10. Saat menolak hendaknya menjaga hati dalam keadaan bersih, dan menghindari kebencian serta penyakit hati. Wamaa taufiiqi illaa billaah, alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib. [al-ikhwan]
TidakMencela dan Berkata Keji. Adab berbicara dalam Islam lainnya adalah menghindarkan diri kita dari kebiasaan mencela dan berkata keji kepada orang lain. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa itu mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Tirmidzi) 6. Hindari Berkata-kata Penuh Dusta.

Skip to content HomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah Islam 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 1. Ikhlaskan diri karena Allah ﷻ dalam bertanya untuk mengetahui suatu masalah. 2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut perkiraannya yang kuat dia mampu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 3. Memulai pertanyaan dengan salam. “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa saja yang bertanya kepada kalian sebelum dia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya.” [HR. Ibnu an-Najar, hadis dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadis dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816] Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah ﷺ. Maka dipahami, bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan, dan telah menghidupkan Sunnah. 4. Hendaknya memerbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan, dan mengingatkan dari segala kejelekan. 5. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut, dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. 6. Ketika telah selesai menulis pertanyaan, maka sampaikanlah ucapan terima kasih, serta mendoakan ustadz yang nanti akan menjawabnya. 7. Janganlah mengadu domba di antara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz, Fulan telah berkata begini dan begitu.” Dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya, maka hendaknya berkata “Bagaimanakah pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu?” TANPA menyebut nama orang yang mengucapkan. 8. Hendaknya bersabar dalam menunggu jawabannya yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya, atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. 9. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga, atau orang lain, sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Apabila masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu, yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. 10. Hendaknya siapapun yang bertanya tidak marah atau tersinggung ketika sedang diluruskan pemahamannya, atau dari cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah رحمه الله berkata “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mau mengingatkan kekurangan mereka. Akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat membenci kepada orang yang telah mengingatkan kekurangan kita.” [Minhajul Qashidin hal 196] 11. Janganlah bertanya hanya sekadar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan. Atau sekadar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya penanya bertanya kepada seorang ustadz. Karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu dia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya. Dan apabila jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. 12. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz, seandainya ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi رحمه الله berkata “Orang alim ulama/ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja pas dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya, atau karena dia lupa.” [Irsyaad al-Ariif 1/24] Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya, mengapa diri ini yang selalu saja cenderung kepada dosa dan maksiat, serta sulit diajak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya? Padahal saya sudah berusaha keras untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu, dan berdoa kepada Allah taala agar dikuatkan iman. Semoga ustadz dan keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah taala. Penulis Ustadz Najmi Umar Bakkar najmiumar_official Ikuti kami selengkapnya di WhatsApp +61 450 134 878 silakan mendaftar terlebih dahulu Website Facebook Instagram NasihatSahabatCom Telegram Pinterest 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED Related Posts

AdabResepsi Pernikahan Islam. Ajaran Islam telah menetapkan adab dalam menyelenggarakan walimah agar tidak terjerembab ke dalam perkara yang dilarang. Mengutip Syekhona Abdul Aziz bin Fathi dalam Mausuu’atul Aadaab al-Islaamiyyah, berikut adab resepsi, perayaan pernikahan menurut Islam; 1. Niat yang Benar. ADAB MENGUCAPKAN SALAM﴿ آداب السلام ﴾] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسيPenyusun Majid bin Su'ud al-UsyanTerjemah Muzafar Sahidu bin Mahsun Eko Haryanto Abu Ziyad2009 - 1430﴿ آداب السلام ﴾ باللغة الإندونيسية »تأليف ماجد بن سعود آل عوشنترجمة مظفر شهيد محصونمراجعة أبو زياد إيكو هاريانتو2009 - 1430ADAB MENGUCAPKAN SALAM Yang paling pertama memerintahkan salam adalah Allah Yang Maha Tinggi, di mana Allah memerintahkan Adam alahis salam untuk mengucapkannya kepada para malaikat. Disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhari إِنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَ آدَمَ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلىَ أُلئِكَ اْلمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَايُجِيْبُوْنَكَ تَحِيَتُكَ وَتَحِيَّة ذُرِّيَتِكَ , فَقَالَ َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَقَالُوْا اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ "Sesungguhnya Allah Ta'ala saat setelah menciptakan Adam alahis salam, Dia berfirman kepada Adam "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat ini dan dengarkanlah dengan apakah mereka menjawabmu, sebagai ucapan penghormatan bagimu dan bagi keturunanmu". Lalu Adam berkata َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ mereka menegaskan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ…".[1] Dan pada masa awal kedatangan Nabi ﷺ‬ di Madinah beliau memerintahkan para shahabat untuk menyebarkan salam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari A'isyah, Rasulullah bersabdaمَا حَسَدَتْكُمُ اْليَهُوْدُ عَلىَ شَئٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ"Orang-orang Yahudi tidak dengki kepadamu karena sesuatu, mereka dengki karena salam dan ucapan amin setelah membaca Al-Fatihah".[2] Disunnahkan untuk mengawali ucapan salam kepada orang lain, dan menjawabnya adalah wajib. Dan jika seseorang mengucapkan salam kepada sebuah jama'ah, kalau dijawab oleh semua jama'ah, maka hal itu lebih bagus, namun kalau dijawab oleh salah seorang dari mereka maka yang lain terbebas dari beban tersebut.[3] Ucapan salam yang paling baik adalah اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa seorang lelaki lewat di hadapan Rasulullah ﷺ‬dalam sebuah majlis dan mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ , beliau bersabda "Sepuluh kebaikan", lalu lewatlah lelaki lain seraya mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َ Rasulullah mengatakan "Baginya duapuluh kebaikan". Lalu lewatlah lelaki lain sambil mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ maka Rasulullah mengatakan "Baginya tigapuluh pahala kebaikan".[4][5] Dimakruhkan memulai salam dengan ucapanاَلسَّلاَمُ ْ ُ عَلََيْكُمُ Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ‬لاَ تَقُلْ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ فَإِنَّ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ تَحِيَّةُ المَوْتَى "Jangnlah engkau mengatakan ,عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ sebab ucapan عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ adalah penghormatan bagi orang yang telah meninggal".[6] Dianjurkan untuk mengulangi salam tiga kali jika jama'ah tempat mengucapkan salam cukup banyak atau merasa ragu dengan pendengaran orang yang disalamkan kepadanya. Dan Rasulullah ﷺ‬ jika mengucapkan salam maka beliau mengulanginya tiga kali.[7] Dianjurkan untuk menyebarkan salam kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang engkau tidak ketahui dan Rasulullah ﷺ‬ bersabda إِنَّ مِنْ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كَانَتِ التَّحِيَّةُ عَلىَ اْلمَعْرِفَةِ"Sesungguhnya di antara tanda datangnya hari kiamat adalah penghormatan ucapan salam dilandaskan pada pengetahuan orang terhadap orang lain semata". Dalam riwayat lain disebutkanأَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلىَ الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَةِ "Seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lainnya dan dia tidak mengucapkan salam tersebut kecuali karena ia mengenalnya".[8] Begitu juga hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa sesorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ‬“Islam apakah yang terbaik? Beliau menjawab "Engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak kau kenal".[9] Bawasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma memasuki pasar dan tidaklah dia melewati seorangpun kecuali dia mengucapkan salam atasnya. Maka Thufail bin Abi Ka'ab berkata kepadanya Apakah yang engkau perbuat di pasar sementara dirimu tidak tinggal untuk berjual beli? Tidak bertanya tentang harga barang? Tidak menawar barang dan tidak pula duduk di majlis yang terdapat di pasar? Beliau menjawab Wahai Abu Bathn kinayah untuk orang yang besar perutnya sebab Thufail seorang yang berperut besar-kami hanya pergi untuk mengucapkan salam kepada orang yang kami temui".[10] Dianjurkan bagi orang yang datang untuk mengawali salam, dasarnya adalah kisah tentang tiga orang yang datang kepada Nabi ﷺ‬ lalu mengucapkan [11] اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُم Termasuk sunnah bahwa seorang yang mengendarai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. Seandainya dua orang yang sedang mengendarai mobil atau hewan atau dua orang berjalan saling berjumpa, maka yang lebih utama adalah orang yang lebih kecil mengawali salam, seandainya orang yang lebih besar memulai salam maka dia mendapat pahala atas perbuatannya. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ‬ dalam riwayat Abu Hurairah t"يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى اْلمَاشِي وَاْلمَاشِي عَلىَ اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلَكثِيْرِ" وفي راية للبخار" "يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ اْلكَبِيْرِ وَاْلمَارُ عَلَى اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلكَثِيْرِ""Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak"[12] Dalam riwayat lain disebutkan Orang yang kecil mengucapkan salam kepada orang yang lebih besar, orang lewat / berjalan kepada orang yang duduk dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak".[13] Apabila dua orang bertemu dan setiap mereka berdua mengawali ucapan salam maka setiap mereka berdua untuk menjawab salamnya. Syarhul Hidayah[14]. Para ulama dalam mazdhab Syafi'iy berkata Disunnahkan mengirim salam dan orang yang dipercayakan mengirim salam tersebut wajib menyampaikannya, inilah yang wajib dilakukan jika dia sanggup menanggungnya sebab dia diperintahkan untuk menyampaikan amanah, namun jika dia tidak sanggup menanggungnya maka dia tidak wajib menyampaikannya. Disebutkan di dalam kitab Al-Shahihaini dari A'isyah radhiallahu anha berkata Rasulullah ﷺ‬bersabda "Wahai Aisayah ini Jibril datang untuk mengucapkan salam kepadamu". Dia menjawab وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ dan ditambahkan di dalam riwayat Bukhari "وَبَرَكَاتُهُ" disebutkan di dalam Syarah Muslim Didalamnya penjelasan tentang bolehnya orang asing yang bukan mahrom mengirim salam kepada perempuan asing lainnya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan perbuatan tersebut".[15] Menjawab orang yang membawa dan orang yang mengirim salam. Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ‬ dan berkata Sesungguhnya bapakku mengirim salam untukmu". Rasulullah ﷺ‬ menjawabnya[16]وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أبِيْكَ السَّلاَم Abu Dzar t berkata "Hadiah yang baik dan beban dengan ringan". Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengucapkan salam kepada wanita asing yang bukan mahrom, ada ulama yang melarang dan ada pula membolehkan, dan semoga yang lebih kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimhullah Jika perempuan tersebut sudah tua maka tidak apa-apa, namun jika masih muda maka tidak boleh.[17] Disunnahkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil, berdasarkan hadits riwayat Anas t bahwa dia melewati anak-anak dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu menceritakan bahwa "Rasulullah ﷺ‬ mengerjakan hal tersebut".[18] Mengucapkan salam kepada orang yang terjaga, di tempat yang terdapat padanya orang lain sedang tertidur, dengan merendahkan suara untuk memperdengarkan salam kepada orang yang terjaga tanpa membangunkan mereka yang sedang tertidur, berdasarkan hadits riwayat Miqdad bin Al-Aswad dan disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa "Nabi ﷺ‬ datang pada waktu malam lalu mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang sedang tertidur namun didengar oleh orang yang sedang terjaga…".[19] Dilarang mendahului ahli kitab dengan salam; berdasarkan sabda Nabi ﷺ‬لاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَم ِفَإِذَا لَقِيْـتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ إِلىَ أَضْيَق"Janganlah kalian memulai orang yang Yahudi dan Nashrani dengan salam, jika kalian menemukan salah seorang dari mereka di jalanan maka desaklah mereka ke jalan yang lebih sempit".[20] Dan jika ingin menghormatinya maka hormatilah dia dengan selain salam. Dan apabila dia mengawali salam, maka hendaklah dia mengucapkan وَعَلَيْكُمْ[21] dan tidak mengapa setelah itu untuk bertanya kepadanya Bagaimana keadaanmu, bagaimana keadaan anak-anakmu, sebagaimana dibolehkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah.[22] Dilarang menyampaikan salam dengan isyarat, berdasarkan hadits riwayat Jabir bin Abdullah t secara marfu' kepada Nabi ﷺ‬لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْد فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah memberi salam seperti salamnya orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[23] Boleh memperdengarkan salam pada sebuah majlis yang dihadiri oleh campuran orang muslim dan musyrik, dan niat mengucapkan salam tersebut hanya dikhususkan bagi orang muslim saja.[24]لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَـهُوْدِ فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah engkau menyampaikan salam seperti apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[25] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat dan menjawabnya dengan isyarat, dan tidak terdapat baginya cara tertentu; terkadang dengan Rasulullah ﷺ‬ menjawabnya dengan jari-jari, terkadang pula berisyarat dengan tangan atau memberikan isyarat dengan kepalanya dan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa beliau berisyarat dengan telapak tangan.[26] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur'an dan dia wajib menjawabnya. Dimakruhkan memberikan salam kepada orang yang sedang menjauh untuk membuang hajat, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu bahwa seorang lelaki lewat sementara Rasulullah ﷺ‬ sedang kencing, lalu lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ‬ namun beliau tidak menjawabnya.[27] Dianjurkan mengucapkan salam saat memasuki rumah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam saat rumah kosong; Dari Ibnu Umar t bahwa dia berkata Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakanاَلّسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ"Kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh".[28] Dianjurkan bagi seorang yang memasuki mesjid untuk shalat dua rekaat sebagai shalat tahiyatul mesjid sebelum mengucapkan salam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata …dan di antara petunjuknya adalah orang yang memasuki mesjid mulai dengan dua rekaat tahiyatul masjid kemudian barulah ia datang dan mengucapkan salam kepada jama'ah yang sedang berkumpul seperti yang dijelaskan dalam hadits al-musi' shalatahu seorang yang mempraktikkan shalatnya secara tidak sempurna.[29] Tidak diperbolehkan bagi seseorang memasuki mesjid saat imam sedang berkhutbah pada hari jum'at, sementara dia sendiri mendengar khutbah tersebut, maka dilarang baginya memberi salam kepada orang yang ada di mesjid, dan orang yang berada di dalam mesjid tidak diperbolehkan menjawab salam tersebut saat imam sedang berkhutbah, namun jika menjawabnya dengan isyarat maka itu diperbolehkan.[30]Jika orang yang ada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya lalu ingin menjabat tangannya saat imam sedang berkhutbah, maka dia boleh menjabat tangannya tanpa harus berbicara dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dengan khutbah yang pertama, dan jika seseorang mengucapkan salam saat khatib berkhutbah dengan khutbah yang kedua maka engkau menjawab salamnya setelah kahtib selesai dari khutbahnya yang kedua.[31] Dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah ﷺ‬ bersabdaمَنْ بَدَأَ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِبْيُبوْهُ"Barangsiapa yang memulai dengan mengobrol sebelum mengucakan salam maka janganlah engkau menjawabnya".[32] Dalam lafaz Ibnu Ady dijelaskan bahwa "Mengucapakan salam dahulu sebelum bertanya, maka barangsiapa yang memulai kepadamu dengan berbicara sebelum mengucapakan salam maka janganlah engkau menjawabnya". Dan diriwayatkan oleh Jabir t secara marfu' Rasulullah ﷺ‬ bersabda لاَ تَأْذَنُـوْا ِلمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالسَلاَم"Janganlah engkau mengizinkan orang yang tidak memulai dengan salam".[33] Termasuk sunnah mengucapkan salam ketika meninggalkan suatu majlis, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ‬إِذَا نْتَهَى أَحَـدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُـوْمَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلىَ بِأَحَقَّ مَِن اْلآخِـرَةِ"Apabila salah seorang di antara kalian telah sampai pada sebuah majlis maka hendaklah dia mengucapkan salam, dan jika dia ingin bangkit keluar maka hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terakhir dengan salam".[34] Meminyaki tangan dengan wewangian untuk berjabat tangan. Dari Tsabit Al-Banani bahwa Anas meminyaki tangannya dengan minyak wangi yang harum untuk berjabatan tangan dengan teman-temannya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah ditanya tentang hukum berjabat tangan setelah shalat fardhu, beliau menjawab “Berjabat tangan setelah menunaikan shalat fardhu bukan termasuk sunnah akan tetapi bid’ah”. Dan Al-Izz bin Abdusalam berkata “Berjabat tangan setelah melaksanakan shalat subuh dan asar adalah bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang yang telah berkumpul dengan orang yang akan disalaminya sebelum shalat, sebab sesungguhnya berjabat tangan disyari’atkan saat baru datang dan Nabi ﷺ‬ setelah selesai melaksanakan shalat wajib, beliau membaca wirid-wirid yang disyari’atkan, beristigfar tiga kali lalu bubar.[35] Di antara kesalahan yang terjadi adalah meninggalkan salam saat baru bertemu sekalipun tidak lama berpisah, dan hadits Al-Musi’ Shalatahu adalah dalil disyari’atkanya mengucapkan salam seklipun pertemuan sebelumnya berlalu selang beberapa waktu. Dan Imam Nawawi rahimahullah memberikan bab di dalam kitab riadhus shalihin tentang hadits Al-Musi’ Shalatahu, yaitu bab isthbaabu I’adatis salam ala man takarrara liqaa’ahu ala Qurbin bi an dakhala tsumma kharaja tsumma dkhala fil haal au haala bainahumaa syajarotun au nahwaha/ Bab dianjurkannya mengulangi salam bagi orang yang pertemuannya berkali-kali selang beberapa saat, yaitu dalam masa yang berdekatan; sekedar masuk kemudian keluar lalu masuk pada saat yang sama atau dihalangi oleh sebuah pohon atau yang lainnya. Ada beberapa bentuk penghormatan lain yang disyari’atkan, seperti mengucapkan مَرْحَبًا Selamat datang, tetapi yang paling utama agar penghormatan ini diucapkan bersamaan dengan salam, maka tidak boleh mencukupkan diri dengannya tanpa dibarengi salam. Sebagaimana yang diriwaytkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata Saat utusan Abdul Qois mendatangi Nabi ﷺ‬, beliau menyambut mereka dengan mengucapkanمَـرْحَبًا بِالْـوَفْـدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى“Selamat datang dengan utusan yang datang tanpa terhina dan penyesalan”. Lalu mereka berkata Wahai Rasulullah! Kita adalah bagian dari penduduk desa Rabi’ah, dan jarak di antara kami dan dirimu terpisah oleh suku Mudhar, kami tidak bisa mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan perkara yang jelas, yang dengannya kami bisa masuk surga dan sebagai bekal yang kami akan dakwahkan kepada orang-orang di belakang kami..”.[36] Dalam hadits yang shahih Nabi ﷺ‬ bersabdaإِذَا أَتىَ الرَّجُـلُ الْقَـوْمَ فَقَالُوْا مَرْحَبًا فَمَرْحَبًا بِهِ يَـوْمَ يَلْـقَى رَبَّهُApabila seseorang mendatangi suatu kaum kemudian mereka mengucapkan مَرْحَبًا maka keselamatan baginya pada hari dia bertemu dengan Tuhannya”.[37] Dan di antara cara memberikan penghormatan yang praktis adalah berjabat tangan, berpelukan dan mencium. Adapun brjabat tangan. Dijelaskan dalam hadits shahih dari Anas, dia berkata Pada saat penduduk Yaman mendatangi Nabi ﷺ‬, Rasulullah ﷺ‬ berkata Telah datang kepadamu penduduk Yaman dan mereka adalah orang yang pertama datang dengan berjabat tangan”.[38]Diriwayakan dari Abu Dawud Rahimahullah dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ‬ bersabda مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا"Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah".[39] Dari Anas radhiallahu anhu Seorang lelaki berkata Wahai Rasulullah! Salah seorang di antara kami menemui sahabatnya yang lain, apakah dia harus tunduk kepadanya sebagai penghormatan baginya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut bertanya kembali Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut kembali bertanya "Apakah dia harus berjabat tangan dengannya?" Maka Rasulullah menjawab Ya, jika dia mau melakukannya".[40] Sebagaimana tidak dianjurkan untuk mencabut tangan saat berjabatan tangan sampai shahabatnya tersebut yang memulai mencabut tangannya sendiri, sebagimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik t bahwa dia berkata Bahwa Rasulullah ﷺ‬ jika menyambut seseorang dan menjabat tangannya maka beliau tidak mencabut tangannya sendiri sampai orang tersebutlah yang memulai mencabut tangannya".[41]Adapun berpelukan. para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan khusus untuk menyambut orang yang baru datang dari perjalanan, sebagian ulama mengatakan bahwa berpelukan disyari'atkan juga dalam keadaan tidak musafir jika waktu berpisah cukup lama atau orang yang berkunjung adalah seorang yang mempunyai kedudukan dan wibawa dan mereka butuh dengan sikap seperti ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Turmudzi rahihullah dalam kitab Al-Syama'il dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ‬ mendatangi rumah Abi Al-Tayhan-salah seorang shahabat-maka pada saat dia melihat bahwa yang datang adalah Rasulullah ﷺ‬, dia segera mendatangi beliau dan memeluk Rasulullah ﷺ‬ padahal rumahnya ada di Madinah.[42]Adapun mencium. Maka para ulama menyebutkan dibolehkannya mencium kepala, adapun mencium tangan maka sebagian ulama membenci hal tersebut, disebutkan dari syekhul Islam rahimhullah bahwa sebagian ulama menyebutnya sebagai sajdah sugro sujud kecil.Adapun mencium kedua pipi dan mulut. Maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh, dan larangan ini menjadi kuat bahkan hukumnya menjadi haram jika dibarengi dengan meningkatnya syahwat. Yang disyari’atkan adalah mencium kepala. Dan sebagian mereka membolehkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang mulia jika seseorang melakukannya karena dorongan keistiqomahannya di dalam agama dan dimakruhkan mencium tangan selain mereka dan tidak diperbolehkan sama sekali mencium tangan seorang lelaki remaja yang tampan, dan disebutkan di dalam catatan pinggir fatawa Imam Nawawi rahimhullah Ta’ala Apabila seseorang ingin mencium tangan orang lain karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, kemuliaan dan kedudukannya atau yang lainnya dari kemuliaan karena agama maka hal itu tidak dimakruhkan bahkan dianjurkan, sebab Abu Ubaidah telah mencium tangan Umar radhiallahu anhu, namun jika karena kekayaan, harta, kekuasaan dan wibawa terhadap orang yang ahli dunia dan yang seperti mereka maka perbuatan itu sangat dibenci.[43] Tidak termasuk kebiasaan generasi salaf dari sejak Nabi ﷺ‬ dan khulafair rasyidin membiasakan berdiri saat menyambut Nabi ﷺ‬, sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian besar orang, bahkan Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan tentang para shahabat bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai dari Nabi ﷺ‬, namun saat mereka melihat beliau, mereka tidak pernah beridiri untuk menyambutnya karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci perbuatan tersebut[44], akan tetapi terkadang mereka bangkit untuk menyambut orang yang baru datang untuk menemuinya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ‬ bahwa beliau bangkit berdiri untuk menyambut Ikrimah, dan beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar saat Sa’ad bin Mu’adz ra kembali “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian”, yaitu setelah beliau kembali memberikan keputusan hukuman bagi Yahudi Bani Quraidhah.[45]Jika kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa menghormati orang yang baru datang dengan cara berdiri, dan seandainya ditinggalkan orang beranggapan bahwa hal tersebut berarti meninggalkan hak orang yang baru datang, sementara mereka belum mengetahui perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka yang lebih baik adalah berdiri menyambut orang yang baru datang tersebut sebab hal ini lebih baik dalam menjaga kedamaian antar sesama dan menghindarkan timbulnya permusuhan dan saling benci. Adapun orang mengetahui bahwa kebiasaan suatu masyarakat adalah berbuat sesuatu yang sesuai dengan sunnah, maka meniggalkan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang tidak termasuk menyakiti orang yang baru datang tersebut.[46][47]Dianjurkan bagi orang yang terhalang menjawab salam sudaranya untuk meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasannya. Diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi ﷺ‬ mengutusnya ke negeri Yaman, dia menceritakan "Aku mendatangi Nabi ﷺ‬ sambil mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawabku, akhirnya hatiku merasakan sesuatu yang Allah lebih tahu dengannya, aku berkata di dalam diriku Jangan-jangan beliau marah karena keterlambatanku mendatanginya”, kemudian, aku kembali mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tetap tidak menjawab salamku, maka aku merasa tidak enak di dalam hatiku lebih dari apa yang aku rasakan pada salam yang pertama, lalu aku kembali mengucapkan salam yang ketiga untuknya, kemudian beliau menjawab salamku, lalu bersabda "Hanya sanya yang menghalangi aku menjawab salammu adalah karena aku sedang shalat”. Dan pada saat itu beliau sedang shalat di atas hewan tunggangannya dan tidak menghadap kiblat.[48] Mengucapkan salam dengan lisan dan isyarat secara bersamaan kepada orang yang bisu dan tuli.[49] Disyari’atkan untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Imam Bukhari berkata dalam kitabnya Al-Adabul Mufrod Bab Jawabul Kitab, dari Ibnu Abbas, dia berkata “Saya berpendapat harus menjawab salam yang tertulis di dalam kitab sama seperti menjawab salam yang terucap”.[50][1] HR. Bukhari no 3326. Muslim no2841.[2] HR. Ibnu Hibban no 856, dishahihkan oleh Albani.[3]Al-Nawawi syarah shahih Muslim 2160.[4] Abu Dzakaria Al-Nawawi mengatakan Dianjurkan bagi orang yang mengucapkan salam untuk memulainya dengan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ yaitu menyebutkannya dengan menggunakan kata ganti plural sekalipun sesorang mengucapkan salam kepada satu orang saja. Dan orang yang menjawabnya mengatakan وعَلََيْكُمْ اَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ. Al-Adab Al-Syariyah 1/359.[5] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 986, Albani mengatakan Shahih.[6] Sunan Abu Dawud no 5209, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.[7] Semua riwayat tentang mengulangi salam menyimpulkan bahwa mengulangi salam dilakukan pada kondisi tertentu, dan Imam Al-Nawawi mengatkan bahwa mengulangi salam dilakukan apabila jama'ah tempat mengucapkan salam tersebut berjumlah banyak Riyadhus Shalihin hal. 291. Dan mengulangi ucapan salam untuk meliputi semua jama'ah. Dan Ibnu Hajar mengatakan rahimahullah mengatakan bahwa mengulangi salam dilakukan jika seseorang merasa ragu kalau-kalau orang yang diberikan salam kepadanya tidak mendengarkan ucapan salam tersebut. Fathul Bari hadits no 6244, dan Zadul Ma'ad 2/418.[8] HR. Bukhari no 6244.[9] HR. Bukhari no12 dan Muslim no 39.[10] Al-Adabus Syar'iyah 1/396.[11] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no 986, dan Albani mengatakan Shahih.[12] HR. Bukhari no 6232. Muslim no 2160.[13] HR. Bukahri no 6231.[14] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[15] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[16] HR. Abu Dawud no 5231 dihasankan oleh Albani[17] Al-Adabus Syar'iyah 1/352.[18] HR. Bukahri no 6247.[19] HR. Muslim no 2055.[20] HR. Muslim no 2167[21] Kecuali jika ucapan selamat yang mereka lontarkan cukup jelas dan tidak membawa makna yang samar, maka dalam hal ini boleh bagi sesorang untuk menjawabnya, berdasarkan keumuman makna yang terkandung dalam firman Allah I وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا"Apabila kalian diberikan suatu penghormatan maka balasalah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan hal yang sama".[22] Jika ada yang bertanya Bagaimana dengan sikap Nabi ﷺ‬ yang mengawali salam kepada orang kafir dengan mengatakanسَلاَمٌ عَلىَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى...؟ keselamatan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Para mufassirin menyebutkan bahwa ucapan tersebut bukan penghormatan tetapi maksudnya adalah orang yang masuk Islam akan selamat dari adzab Allah. Oleh karena itu disebutkan setelahnya bahwa azab akan menimpa orang yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan Allah, maka jawabannya adalah bahwa beliau tidak mengawali orang kafir dengan mengucapkan salam secara sengaja, sekalipun lafaz hadits ini seakan mengisyaratkan makna tersebut. Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/38.[23] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, An-Nawawi 367.[24] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, Al-Nawawi 367[25].Fathul Bari 11/16, adapun tentang hadits Asma' binti Yazid yang mengatakan "Nabi saw mengulurkan tangannya kepada jama'ah perempuan saat menyampaikan salam". HR. Turmudzi no 2697, Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1047, 1003, Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih, Imam Nawawi mengatakan bahwa kemungkinan bahwa Nabi saw mengumpulkan antara isyarat dengan ucapan salam, sebagimana yang disebutkan dalam riwayat Abi Dawud فَسَلَّمَ عَلَيْهِ dan mengucapkan salam kepadanya, Al-Adzkar hal. 356.[26] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya pada jilid ke 22, menyebutkan bahwa Jika orang yang sedang shalat mengetahui cara menjawab salam dengan isyarat maka dibolehkan menyampaikan salam kepadanya, jika dia tidak mengetahuinya maka sebaiknya tidak mengucapkan salam kepadanya agar shalat mereka yang wajib tidak terputus dengan perbuatan yang sunnah, sebab bisa jadi orang tersebut menjawab salam secara lisan sehingga menimbulkan kekurangan bagi shalatnya.[27] HR. Muslim no 370[28] Al-Adabul Mufrod no 1055 dan dihasankan oleh Al-bani.[29] Zadul Ma'ad 2/413-414.[30] Fatawa Lajnah Da'imah 8/243.[31]Fatawa Lajnah Da'imah 8/246 Saudi Arabia.[32] HR. Al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Abu Na'im dalam kitab Al-Hulyah dihasankan oleh Al-Bani dalam Silsilatus Shahihah no 816.[33] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Shahihah 817.[34] HR. Turmudzi nno 2861, Al-Bukahri dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1008 dan Albani mengatakan hadits Shahih.[35] Al-Muhkamul Matiin Fi Ikhtisharul Qaulul Mubiin Fi Aktha’al Mushalliin, Mashur bin Hasan Ali Salman.[36] Shahih Bukhari no 5708.[37] As-Silsilatus Shahihah no 1189[38] HR. Abu Dawud no 5212[39] HR. Abu Dawud no 5212 dan Albani mengatakan bahawa hadits ini shahih.[40] HR. Turmudzi no2728, dan dikeluarkan oleh Alabni dalam kitabnya Sililatus Shahihah no160 1/288.[41] HR. Turmudzi no 2490, dishahihkan oleh Albani dengan berbagai jalan dalam kitab Al-Sisilatus Shahihah no 2485, 5/635[42] Al-Turmudzi no 2292.[43] Albani rahimhullah menegaskan dalam kitab Al-Silsilatus Shahihah 1/251 bahwa mencium tangan orang yang alim dibolehkan dengan tiga syarat1. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, di mana orang yang alim tersebut secara sengaja mengulurkan tangannya kepada para Hal tersebut tidak menjadikan orang yang alim tersebut sombong terhadap orang Perbuatan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah berjabatan dalam fatwa syekh Ibnu Humaed rahimhullah “Tidak baik bagi seorang lelaki mencium mulut ibunya dan tidak pula mulut anaknya,, begitu juga kakak laki-laki tidak diperbolehkan mencium mulut adik perempuannya, dan bibi dari bapak, bibi dari ibu serta salah seorang mahromnya, mencium mulut khusus bagi seorang suami.[44] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 946, dan terdapat sedikit perbedaan lafaz, Albani berkata Shahih.[45]HR. Bukhari no 6262.[46] Majmu’ fatawa 1/374-375[47] Ibnu Hajar rahimhullah berkata secara umum, jika berdiri untuk menyambut seseorang dianggap sebagai penghinaan dan bisa menimbulkan kerusakan maka hal itu tidak boleh dilakukan, dan makna inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdis Salam Fathul Bari 11/56. Ahlul Ilmi menjelaskan bahwa berdiri tersebut dibagi menjadi tiga macam1/Berdiri untuk mendatangi seseorang, maka hal ini tidak mengapa, sebab Nabi ﷺ‬ saat kedatangan Sa’d bin Mu’adz t setelah memberikan hukuman kepada Yahudi dari Bani Quraidhah, Rasulullah ﷺ‬ bersabda Berdirlah menuju pemimpin kalian HR. Bukhari no 4121, Muslim no untuk menyambut kedatangan seseorang, hal ini juga tidak mengapa, apalagi jika masyarakat menjadikannya sebagai kebiasaan, dan orang yang datang menganggap bahwa tidak berdiri untuk mneyambutnya adalah penghinaan, sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut seperti yang dijelaskan di dalam sunnah, namun apabila masyarakat terbiasa dengan perbuatan seperti itu maka hal tersebut tidak mengapa untuk menghormati seseorang. Seperti seseorang duduk lalu salah seorang sebagai ketua berdiri untuk mengagungkannya, maka perbautan seperti ini terlarang. Rasulullah ﷺ‬ bersabda لاَ تَقُوْمُوْا كَمَا تَقُوْمُوْا اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًاJanganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ajam berdiri dalam mengormati sebagian mereka atas sebagian lannya” HR. Abu Dawud no 5230, dan dilemahkan oleh syekh Albani rhimhullah dalam kitab Silsilatud Dhaifah no 346. Syarhu Riadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin 1/ berdiri untuk kebaikan dan kemaslahatan, seperti berdirinya Ma’qil bin Yasar untuk mengangkat ranting sebuah pohon dari Rasulullah ﷺ‬ saat berbai’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, dan berdirinya Abu Bakr t untuk melindunginya dari terik matahari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq maka perbuatan ini adalah mustahab.[48] Al-Adabus Syar’iyah 1/400.[49] Al-Aadbus Syar’iyah 1/402.[50] Al-Adabul Mufrod no 1117 dengan sanad yang hasan.
\n \n\n \nadab bertanya dan menjawab
NabiSaw menjawab, "Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya." Mereka bertanya lagi, "Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan beramar ma'ruf nahi mungkar." (HR. Bukhari dan

Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan mengucapkan salam, baik saat memasuki rumah orang lain mau pun bertemu sahabat di jalan. Bahkan Allah SWT melarang umat Islam masuk ke rumah orang lain sebelum mengucapkan salam. Seperti hadits dibawah yang menjelaskan tentang فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ Artinya“…Maka apabila kamu memasuki suatu rumah hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri…” QS an-Nur [24] 61. Allah SWT berfirman di dalam Surat An-Nur ayat 27 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Keutamaan mengucap salam juga diriwayatkan dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih dari Abdullah bin Amr bin al-Ash,” Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Islam apakah yang paling baik?’ Beliau Rasulullah SAW menjawab, Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal.” Betapa pentingnya meminta izin sebelum memasuki sebuah rumah yang bukan milik sendiri. Cara ini merupakan salah satu kaidah dalam bersilaturahim. Dan, begitu indah akhlak seseorang yang selalu mengawali ucapan salam kepada siapa pun yang ditemuinya. Sabda rasullullah وعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Kaidah salam yang lain juga mengatur rendah dan tingginya suara saat mengucapkan salam. rutama ketika malam hari. Mengucapkan salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi membangunkannya. Adab Mengucapkan Salam Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda “Yang muda memberi salam kepada yang tua. Yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang lebih banyak.” Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Dan anak kecil mengucapkan salam kepada yang lebih besar.” Adapun hadits dari Nabi SAW yang berbunyi وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ Nabi SAW bersabda, “Siapa yang memulai salam ketika bertemu dengan orang, maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Hadis Keempat وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُ Nabi SAW bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.” Memberikan salam kepada saudara muslim sangat dianjurkan, lalu bagaimanakah hukum menjawab salam dari seorang muslim? Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Hal ini dipertegas dalam surat An-Nisa ayat 86, dimana Allah SWT berfirman وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا Artinya “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. Selain itu menjawab salam kepada sesama muslim adalah hal baik bagi orang yang mengucapkan salam tersebut untuk dijawab atau dibalas. Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda حقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ “Hak sesama Muslim ada lima membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” HR. Bukhari Muslim Ucapan salam disebut juga tahiyyatul islam dan sesungguhnya ucapan salam ini jauh lebih baik dari pada sebuah sapaan gaul. Seperti yang saat ini umum digunakan oleh generasi muda yang telah dirasuki oleh tradisi budaya barat. Naudzubillah. Bagaimana Jika Salam yang Tidak Dijawab? Apabila kita mengucapkan salam berarti kita sedang mendoakan keselamatan kepada orang yang kita berikan salam. Adapun doa ini akan dibalas oleh doa malaikat untuk orang yang mengucapkan salam. Walaupun orang yang kita berikan salam tidak menjawab salam kita. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda “Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka, namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka”. Macam-macam Adab Salam Mengucapkan salam. Saat bertemu dan berpisah. Salam hendaknya didengar pihak yg diberi salam. Salam secara lengkap lebih baik. Segera bersalam sebelum didahului yg lain yang muda bersalam kepada yg tua. Hindari salam kepada mereka yg membuang hajat. Tidak bersalam kepada orang kafir. Ada hukum bersalaman dengan non muslim yang patut kamu ketahui. Demikianlah adab-adab yang bisa kita perhatikan dalam mengucapkan dan menjawab salam. Semoga menambah wawasan kita bersama.

3 Kesabaran berlipat. 4) Bekal/biaya. 5) Bimbingan guru. 6) Dan waktu yang lama. • Banyak anak yg cerdas tapi tdk disuruh belajar agama, kalo bodoh baru dimasukkan pesantren. • Tanpa kemauan yang kuat maka ilmu tdk akan didapat. • Banyak penuntut ilmu yang semangat akan tetapi hanya beberapa waktu saja, karena tdk punya kesabaran.
Adab, sifat dan sikap adalah cermin peribadi seseorang. Saya suka menulis dan menekankan tentang adab, sikap dan sifat. Bukan niat saya untuk tunjuk pandai yang sering digelar sebagai “poyo” ataupun untuk mengajar tetapi untuk saya bermuhasabah diri apabila membuat sesuatu perkara disamping berkongsi perasaan saya apabila berhadapan dengan situasi yang bakal saya ceritakan ini. Saya terpanggil menulis tentang adab menulis, membaca dan menjawab ini apabila sering menghadapi keadaan serba salah apabila menjawab email, atau mesej di FB, Twitter, Whatsapp dan sebagainya. Kadang-kadang terasa sedih, adakalanya lucu, sekali sekala geram dan seringkali saya terpana dan terpaku kerana tidak tahu bagaimana untuk menjawab pertanyaan atau mesej yang dihantar kepada saya. Mesej atau email begini adalah paling banyak mendominasi kotak email saya setiap hari. Saya tidak kisah untuk menjawab setiap pertanyaan namun biarlah saya faham apa yang anda tulis dan cuba tanyakan kepada saya itu. [spacer] Adab menulis Menulis adalah mudah. Tetapi cara anda menulis itu memberikan impak kepada orang yang membaca. Sekiranya anda menulis dengan cara yang baik maka impak yang anda berikan kepada orang yang membaca juga adalah baik. Saya pernah menulis tentang bagaimana pelajar universiti menulis email kepada saya untuk memohon tempat menjalakan latihan amali/praktikal/industri internship di sini. Nak menulis dan bertanya biarlah beradab. Menulis mesej kepada isteri, suami atau awek atau pakwe bukan main lagi – dimulakan dengan sebutan atau panggilan terlebih dahulu seperti “Sayang, awak kat mana?” “Bee, datang ambil I pukul 6 yer. Thanks” “Darling, kita nak ambil flight pagi ke petang yer?” “Ayang, tak rindu i ke?” “Mama, masak apa untuk dinner malam ni?” “Papa! papa tau tak yang papa ni nakal lah!” “Dear, tolong ambil dobi on the way balik nanti yer. TQ” dan macam-macam lagi. Kenapa kepada orang lain yang anda perlukan pertolongan namun anda tidak dapat menggunakan pendekatan yang sama? “Puan Siti, saya ingat nak mintak cuti minggu depan hari khamis dan jumaat boleh tak. TQ?” Cukup. Tak perlu ayat putar alam panjang berjela – cuma ringkas dan tepat. Ada pembuka iaitu Puan Siti disusuli dengan pertanyaan atau permintaan yang lengkap dan jelas kemudian diakhiri penutup iaitu terima kasih. Cukup. [spacer] Adab bertanya, Bertanya biarlah jelas. Lebih elok dan molek kiranya dimulakan dengan ucapan, disusuli dengan soalan dan diakhiri juga dengan ucapan. Namun yang sering saya terima adalah seperti ; “Saya nak kerja petik buah?”, “Ada kerja kosong?”, “Saya perlukan hotel di Berlin”, “Nak sewa kereta kat mana?” dan macam-macam lagi. Jadi, bagaimanakah saya dapat memberikan jawapan yang tepat dan jelas bagi soalan yang sebegitu?. Termanggu seketika saya mengadap komputer atau telefon sambil memikirkan jawapan yang sesuai. Kalau dijawab secara acuh tak acuh nanti ada yang terasa, kononnya saya sombonglah saya perlilah dan sebagainya. Namun untuk menjawab secara tepat adalah amat sukar untuk saya. Kadangkala saya terfikir mungkin mereka merasakan yang saya ini seorang Psikik yang boleh membaca fikiran dan menterjemahkan apa sahaja yang mereka tulis. Kalau ikut perasaan maka bagi soalan yang pertama saya akan jawab ” Ha..kerjalah” sebab apa yang ditulis kepada saya bukanlah pertanyaan tetapi pernyataan. Bagi soalan yang kedua pula jawapan saya lebih mudah – cuma perlu jawab ya atau tidak sahaja. Namun adalah tidak tergamak untuk saya menjawab sebegitu kerana saya tahu mereka mengharapkan jawapan yang jelas daripada saya. Oleh itu jawapan yang terbaik dapat saya berikan adalah dengan bertanya soalan kembali, yang mana akibatnya akan terdapat satu siri komunikasi yang panjang rentetan dari satu email atau mesej jawapan untuk satu email atau mesej soalan. Saya lebih suka menerima satu set soalan yang lengkap sepanjang mungkin dan saya akan dapat menjawab sekaligus secara lengkap dan jelas. Tetapi apabila setiap email atau mesej ada satu soalan dengan 3 atau 4 patah perkataan maka amatlah sukar untuk saya memberikan ruang masa saya untuk menjawab soalan sebegitu. Alangkah bagus kalau email atau mesej yang diterima berbunyi ; “Assalamualaikum, saya nak tumpang tanya, kalau kita nak naik train dari Munich ke Amsterdam, perlukah kita beli tiket online atau di kaunter sahaja? Terima kasih – Hamzah, KL” Sesiapa sahaja yang membaca pertanyaan di atas pasti faham dengan jelas, apakah soalan yang ditanya dan siapa yang bertanya soalan. Tidak dinafikan, ramai juga orang yang menghantar email atau mesej saya dengan ayat dan penulisan yang bagus. Ramai juga yang penulisannya tidak bagus namun pertanyaan dan cara tulisannya membuat saya senang hati. [spacer] Adab Menjawab Apabila ditanya soalan atau ditegur maka kita wajiblah menjawab. Ketika kita sedang menunggu komuter dan orang disebelah kita bertanya; “Kak, gi Seremban ke?” maka kita pun jawab “Tak!” sambil menggeleng kepala kerana kita nak ke Subang Jaya. Sebaliknya apa yang dimaksudkan oleh adik tadi adalah tren komuter yang sedang ditunggu tersebut menuju ke Seremban kah. Adik tadi menjangkakan yang akak tadi dapat membaca akal fikiran beliau memandangkan ketika itu mereka sama-sama sedang menunggu tren komuter. Namun kalau adik tadi bertanya “Kak, tumpang tanya sikit. Komuter ni nak ke Seremban ke?” maka kita pun dengan lebih senang hati menjawab “Ohhh takk, yang ni nak ke Port Klang, kalau nak ke Seremban adik kena naik kat sebelah sana. Rasanya lagi 5 minit train sampai..adik kena pergi sekarang!” sambil tersenyum. Nampak tak perbezaan nada jawapan yang diberikan apabila pertanyaan yang diajukan lebih lengkap dan beradab? Begitu juga dengan saya, anda atau sesiapa sahaja yang menerima pertanyaan. Acapkali saya mengerut dahi memikirkan bagaimana hendak menjawab soalan yang diterima. Bukan bermakna saya tidak mahu anda menghantar email atau mesej bertanya soalan – tetapi biarlah lengkap dan saya mudah faham. Itu sahaja. Untuk saya tidak perlu ucapan salam, tidak perlu terima kasih dan sebagainya – cukup sekadar soalan yang lengkap untuk saya mudah menjawabnya. [spacer] Adab Membalas Apabila kita dah terima jawapan maka apa yang harus kita lakukan? Memaling belakang dan berlalu begitu sahaja? Sudah pasti tidak. Perkataan yang lazim diucapkan adalah terima kasih. Sangat mudah dan tak sampai pun 2 saat untuk menyebutnya dan tidak sampai 6 saat pun apabila menaip di komputer menggunakan keyboard atau di telefon pintar masing-masing. Tidak susah bukan? Kalau tidak susah kenapa tidak dilakukan? Adakah anda tidak peduli? Anda tidak kisah? Untuk saya, ucapan terima kasih bukanlah saya inginkan tetapi balasan email atau mesej dari anda yang saya nantikan. Sekurang-kurangnya apabila dah mendapat jawapan dari saya, tulislah 2 patah perkataan seperti “saya faham” atau “ohhh macam tu” ” ok tau dah” dan sebagainya. Jadi saya tahu yang anda telah menerima balasan email atau mesej saya. Apabila tiada jawapan balas dari anda maka saya sering tertanya-tanya “dia tak terima email kah?”, “email masuk spam kah?” atau “dia belum baca lagi kot” dan macam -macam lagi. Mengapa saya risau dan tertanya-tanya? Kerana seperti yang saya nyatakan di atas. Apabila seseorang bertanya kepada saya maka wajiblah saya memberi jawapan – samada pendek ataupun panjang. Jadi apabila tidak mendapat balasan maka saya rasa bersalah dan merasakan yang anda tidak menerima jawapan balas dari saya. Selain itu, saya antara 1 hingga 3 jam setiap hari untuk membalas semua email, komen dan mesej anda. Ada yang panjang berjela dan ada juga yang cuma sebaris kata. Jadi besarlah harapan saya agar ribuan perkataan yang taip setiap hari dapat memberi jawapan kepada pertanyaan anda. Oleh itu saya pohon kepada semua pembaca di luar sana, apabila menghantar email kepada saya atau kepada sesiapa sahaja terutama kepada mereka yang menulis email atau mesej untuk memohon kerja atau bantuan atau sebagainya – tulislah dengan lengkap dan beradab kerana diri anda dinilai melalui tulisan anda. Letaklah diri anda di tempat orang di sebelah sana yang memberikan jawapan kepada anda – mungkin anda akan lebih tahu betapa bernilainya “acknowledgement” dan ucapan terima kasih. [divider top=”no” style=”dotted” size=”2″ margin=”10″] Saya amat yakin yang setiap email atau mesej yang dihantar kepada saya mendapat balasan samada pendek ataupun panjang. Ada yang bertanya satu soalan dengan hanya 10 perkataan tetapi mendapat balasan dengan 5 perenggan dengan 280 patah perkataan bersama jawapan yang lengkap. Ada juga yang menulis hampir 150 oatah perkataan kepada saya tetapi saya hanya membalas dengan sebaris kata sahaja. Begitu juga dengan komen-komen samada di blog ini ataupun di facebook page saya. Saya mencuba sedaya upaya untuk menjawab semua soalan dan komen. Namun kepada mereka yang komennya atau email yang belum saya balas, maka saya mohon maaf. Mungkin ada yang saya tidak tahu bagaimana untuk menjawabnya dan mungkin ada yang terlepas pandang. [spacer] Saranan saya Satu lagi, kalau menulis komen di status FB yang hot atau viral tentang isu semasa, politik, agama dan sebagainya maka tulislah dengan beradab. Ribuan orang membaca tulisan anda dan dari situ orang menilai peribadi anda. Baik dan santun bahasa anda maka baiklah budi pekerti namun buruk dan carut bahasa anda maka itulah diri anda yang dapat dilihat oleh ribuan manusia lain. Kepada mereka yang terasa dengan artikel saya kali ini saya pohon ribuan ampun dan maaf. Semoga kita sama-sama dapat mengambil inisiatif untuk memupuk sifat serta sikap yang lebih baik. [spacer] Namun begitu Saya masih sering tertanya-tanya mengapa ada yang menulis dengan cara sebegitu dan kadangkala menggunakan singkatan perkataan yang sukar untuk difahami. Sukarkah untuk menulis dengan bahasa yang santun dan jelas? atau dengan lebih panjang sedikit supaya maksudnya sampai?. Adakah kredit telefon atau had limit internet akan terus habis sekiranya menulis dengan tambahan 10 atau 15 perkataan? Atau mungkin masa anda terlalu berharga untuk dihabiskan selama 10 minit untuk menulis dengan jelas dan terang agar lebih mudah difahami? Atau mungkin anda jenis “I Dont Care” ENTAHLAH..I Dont Know! Beliaumenjawab: Orang yang darahnya dialirkan dan kudanya disembelih. Dalam hadis di atas nabi Saw menyebutkan bahwa amal yang paling mulia disisi Allah adalah keimanan tanpa ada keraguan, karena nabi SAW tau kondisi orang yang bertanya dan tau amal apa yang dibutuhkan oleh sahabat tersebut. Wallahu a’lam bishowab. Tags: amalan mulia headline. PurnaWarta — Banyak yang menyatakan bahwa kunci dari ilmu adalah bertanya. Atau ada pepatah yang menyatakan bahwa “Malu bertanya sesat di jalan”. Namun apakah ada adab-adaban bertanya dalam agama Islam? Bertanya merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Bertanya merupakan sebuah pekerjaan yang penting bagi mereka yang tidak tahu. Terlebih lagi bagi urusan agama. Hanya saja harus diperhatikan juga pada siapa kita bertanya. Jangan sampai kita bertanya pada salah sumber. Baginda Nabi Muhammad saw pernah bersabda bahwa bertanya itu sebagian dari ilmu. “Pertanyaan yang baik merupakan sebagian dari ilmu.” Biharul Anwar, jild 1, hal 224 Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa ketika pertanyaan kita adalah tentang hal yang baik maka pertanyaan kita merupakan sebagian dari ilmu. Juga berarti ada kemungkinan bahwa pertanyaan itu tidak baik. Misalnya pertanyaan yang mampu menggangu orang sehingga orang tak nyaman atau pertanyaan yang tidak penting. Sayidina Ali bin Abi Thalib kwj pernah berkata, “Bertanyalah sesuatu yang penting bagi kamu dan jauhilah bertanya dengan pertanyaan yang tidak penting untuk kamu!” Ilalul Syara’i, jild 1, hal 64 Selain itu juga ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa bertanyalah untuk memahami pertanyaan dan bukan untuk mengganggu. Dari hadits-hadits di atas kita memahami bahwa adab bertanya adalah bertanya dengan hal-hal yang baik maka itu merupakan sebagian dari ilmu. Selain itu ketika kita mau bertanya maka bertanya lah hal yang penting bagi kita. Selajutnya adalah bertanya untuk memahami bukan untuk mengganggu orang lain. AdabSeorang Murid. tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah. Musa menjawab, ‘Aku.’ Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba
Agama Islam adalah agama yang penuh adab dan akhlak. Salah satu yang diatur adalah adab bertanya kepada guru. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan 1. Tidak terburu-buru menagih jawaban Contoh ketika SMS/WA “Ustadz, tolong jelaskan hukum shalat ini beserta dalilnya dan rinciannya, kalau bisa cepat dibalas ustadz, ini sedang membuat bantahan” Mungkin jawabannya “Silahkan buka buku sifat shalat” Perlu dipahami bahwa guru kita juga banyak urusan dan bisa jadi terbatas ilmu dan waktu. Agar mendapat ilmu yang berkah tidak boleh tergesa-gesa dan harus beradab dengan guru.[1] 2. Tidak bertanya yang bisa “mengadu domba” Contohnya di suatu majelis ilmu sesi tanya jawab, Fulan Ustadz, apa hukumnya ini? Ustadz Hukumnya mubah Fulan Tapi ustadz A berpendapat haram ustadz ! Ini bukan adab yang baik dan bisa membenturkan pendapat ustadz tersebut karena mereka sezaman dan selevel. Berbeda halnya jika ia membawa dalil berupa hadits atau perkataan ulama berbeda zaman, ini tidaklah mengapa 3. Tidak terlalu banyak bertanya yang tidak perlu dan fakta itu belum terjadi contoh Fulan Kalau di bulan arah kiblatnya ke mana? Apa hukum makan daging dinosaurus? Mungkin jawabannya Tolong SMS saya kalau kamu sudah di bulan ya. Terlalu banyak bertanya seperti ini adalah sebab kehancuran umat terdahulu sebagaimana dalam hadits [2] Semisal pertanyaan Bani Israil mengenai sapi apa yang harus disembelih sebagai qurban, mereka banyak bertanya ciri-cirinya akhirnya memberatkan mereka 4. Bertanya untuk melawan dan mendebat Bertanya dengan pertanyaan menjebak atau untuk memancing saja bukan untuk mencari jawaban atau diskusi Ibnul Qayyim menjelaskan menuntut ilmu itu bukan untuk melawan, ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً “Jika anda duduk bersama seorang alim ahli ilmu maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” [3] Inilah yang dimaksud hadits orang yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di depan ulama dan mendebat orang bodoh [4] Demikian semoga bermanfaat Yogyakarta Tercinta Penyusun Raehanul Bahraen Artikel Catatan kaki [1] Az-Zuhry menjelaskan pentingnya adab dan lemah lembut dalam menuntut ilmu, ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻠﻄﻔﻪ ﻓﻜﺎﻥ ﻳﻌﺰﻩ ﻋﺰﺍ “Dahulu Ubaidullah yakni bin Abdullah bin Utbah, seorang tabi’in berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau memuliakannya dengan memberinya ilmu yang banyak” Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250 [2] Hadits berikut, ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﻣَﺴَﺎﺋِﻠِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺧْﺘِﻼَﻓُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ “Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [HR. Bukhari dan Muslim] [3] Miftah Daris Sa’adah 1/168 [4] Hadits berikut, ﻣﻦ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺠﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻟﻴﻤﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﺼﺮﻑ ﺑﻪ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” HR. At-Tirmidzy 5/32 dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany
VPPSMP-SMA Notes: Edisi Juni 2019 By : M. Ariefianto I. Pengantar Pentingnya Adab Dalam suatu kesempatan bersama para sahabatnya, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Akhlaq.” Dengan kalimat lain bahwa sesungguhnya tugas risalah Rasulullah ke dunia ini adalah memperbaiki akhlaq atau adab
Adab para Kiai dalam menjawab itu diantaranya, pertama para kiai akan mengaku tidak tahu kalau tidak mengetahui jawabannya. Kedua, kalaupun mereka tahu, mereka akan menunggu orang lain untuk terlebih dahulu menjawab atau meminta kepada penanya untuk bertanya kepada orang lain yang lebih mengetahui jawabannya. Terakhir, baru mereka akan menjawab. Saya lama antri di rumah KH Abdurrahman Wahid Gus Dur sekitar tahun 1998. Sewaktu dapat giliran bertanya, saya tanyakan kepada Gus Dur mengenai sejumlah fatwa NU. Beliau menjawab singkat “Tanyakan saja hal tersebut kepada Said Aqil Siradj.” Sebagai santri, saya paham dan kemudian mundur ke belakang. Lantas datang Nusron Wahid yang bertanya kepada Gus Dur tentang suatu peristiwa di tanah air, Gus Dur menjawab “Saya gak tahu. Jangan tanya saya soal itu.” Luar biasa, bukan? Masih pada tahun yang sama, saya kemudian menuju Rembang dan sowan kepada KH A Mustofa Bisri Gus Mus dan menanyakan soal keputusan Munas Lampung mengenai manhaj NU dalam berfatwa. Sebelum menjawab, Gus Mus bertanya kepada saya “Sudah ke rumahnya Kiai Cholil Bisri? Itu rumahnya di depan, nanti tanya juga kepada beliau”. Indah, bukan? Begitulah adab para Kiai dalam memberi jawaban. Tidak merasa paling tahu, apalagi merasa jawaban yang diberikan adalah satu-satunya kebenaran. Bagaimana dengan adab kita selaku penanya? Pertama, kita pahami dulu bahwa kita mengajukan pertanyaan baik tatap muka langsung atau lewat media sosial itu sudah mengambil waktu mereka. Beruntunglah kalau mereka mau menjawab. Kalau karena satu dan lain hal mereka tidak berkenan menjawab, masak kita mau memaksa? Tetap jaga akhlak kita. Kedua, kita bertanya kepada mereka itu karena kita percaya dengan otoritas mereka. Jadi, jangan kemudian bersikap kita lebih tahu atau mau mengajak berdebat dengan tanya dalil macam-macam. Kalau memang tidak percaya dengan otoritas keilmuan mereka, ya kenapa bertanya kepada mereka? Tanya orang lain saja. Meminta jawaban lengkap dan panjang lebar itu artinya semakin menyita waktu mereka. Padahal ini gratis. Gratis saja kok memaksa minta jawaban lengkap dengan rujukan macem-macem. Memangnya buat makalah untuk seminar? smile emoticon Jadi, kalau diberi jawaban ya syukuri saja. Meski jawabannya pendek. Kalau tidak dijawab, ya tetap jaga akhlak kita, jangan malah ngomel-ngomel dengan menuduh mereka menyembunyikan ilmu. Kalau gak cocok dengan jawabannya, ya silahkan cari second opinion. Ingat, mereka yang kita tanya itu tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan kita. Jawaban mereka itu seperti sodaqah dari mereka untuk kita. Kita faqir, mereka alim. Kita tidak tahu, mereka lebih tahu. Kalau mereka mau men-sodaqahkan apa yang mereka tahu, itu pahala buat mereka. Tapi mereka tidak wajib ber-sodaqoh ilmu mereka kepada kita. Saya melihat di media sosial saat ini adab bertanya dan adab menjawab sudah mulai ditinggalkan. Yang menjawab tidak lagi dengan ilmu, dan yang bertanya tidak lagi bertanya dengan akhlak. Yang menjawab merasa jawabannya paling benar, dan yang bertanya tidak percaya dengan otoritas keilmuan yang menjawab, malah ngeyel atau melecehkan jawaban yang diberikan. Yang menjawab, selalu merasa paham semua persoalan sehingga dijawab sendiri semua pertanyaan, dan yang bertanya terus memaksa seakan-akan pertanyaannya harus dijawab. Yang menjawab sering menganggap yang bertanya itu bodoh, dan yang bertanya sering bermaksud menguji sampai dimana pertanyaannya bisa dijawab. Mari kita belajar kembali adab dalam melakukan tanya-jawab. Media sosial ini cuma alat, tool atau cara kita berkomunikasi. Dari semula face-to-face, sekarang hanya screen-to-screen. Jadi, alat komunikasinya saja yang berubah, namun akhlak harus tetap kita jaga. HP boleh semakin “modern”, tapi tata krama kita tetap harus “tradisional”. Jangan sampai alat komunikasi yang kita pakai semakin canggih, namun sikap dan perilaku kita malah semakin gak karuan. Mari yuk…sama-sama kita belajar terus untuk berkomunikasi yang baik di media sosial. Semoga Allah merahmati mereka yang bertanya dan mereka yang menjawab, dengan niat untuk sama-sama mencari keridhaan Allah. Amin Ya Allah Tabik, Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga sebagai Wakil Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus IIQ Jakarta.
InilahKeutamaan 'Assalamu'alaikum', Tata Cara dan Adab Menjawab Salam yang Benar. Agama. May 01, 2020 13:31. Salam Assalamu'alaikum (Foto: Tebuireng Online) "Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Islam apakah yang paling baik?' Beliau Rasulullah SAW menjawab, 'Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang
sumber jawab adalah hal yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika kita bertanya ke guru dan dosen kita atau ketika bertanya arah jalan ke orang asing di jalan, dan sebagainya. Kalau kita tidak tahu, kita bertanya ke yang lebih tahu. Kalau kita lebih tahu, maka kita memberi ilmu kepada yang belum tahu. Nah, ternyata dalam melakukan kegiatan tanya jawab, kita tidak boleh sembarangan, ada adab yang perlu diperhatikan dalam bertanya dan menjawab. Dalam Islam kita mengenal yang namanya akhlak. Saat kita bertanya pada seseorang, mereka berkedudukan sebagai alim dan kita sebagai fakir dalam hal ilmu. Allah berfirman mengenai hal iniفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَArtinya “Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” QS. An-Nahl ayat 43Sering kita lihat di media sosial, orang yang bertanya meninggalkan prinsip akhlak dengan cara meremehkan jawaban karena dirasa tidak berbobot. Sedangkan yang menjawab pun meninggalkan prinsip ilmu, merasa jawabannya sudah paling sedikit cerita yang dapat menjadi inspirasi bagi kita, dari penulis buku "Ngaji Fikih" yang ketika itu beliau sedang mengantre giliran untuk bertanya di rumah Gus Dur. Kemudian beliau bertanya mengenai sejumlah fatwa NU. Jawaban dari Gus Dur justru tidak terduga, “Tanyakan saja hal tersebut kepada Said Aqil Siradj!”Dengan penuh hormat beliau memilih untuk mundur setelah mendapat jawaban tersebut. Lalu datanglah Nusron Wahid yang bertanya pada Gus Dur mengenai suatu peristiwa di Indonesia, Gus Dur kemudian menjawab, “Saya tidak tahu, jangan tanya saya soal itu!”Nah, kira-kira itulah gambaran ketika kiai memberi jawaban. Mereka enggan merasa paling tahu akan suatu hal, sehingga memilih untuk mengaku bahwa mereka kurang bagaimana adab untuk orang yang mengajukan pertanyaan? Pertama, kita harus berprinsip bahwa ketika kita bertanya secara tatap muka maupun lewat media sosial, artinya kita sedang meminta dan menyita waktu seseorang untuk memberi jawaban ke kita. Jadi, jangan terburu-buru untuk menagih jawaban dari mereka. Kedua, kita tidak boleh memaksa apabila seseorang tidak menjawab, mungkin saja mereka memiliki kesibukan lain sehingga tidak sempat untuk memberi jawaban. Mereka tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan kita. Menjawab pertanyaan adalah sedekah, karena telah membantu orang lain yang awalnya belum tahu menjadi apa pun jawaban yang diberikan, syukuri dan hargai itu. Meski jawabannya singkat, atau mungkin kita tidak cocok dengan jawaban tersebut, tetap saja kita harus menjaga akhlak dan adab kita sebagai penanya. Jangan marah-marah kalau kita tidak puas dengan jawaban tersebut. Kalau memang belum puas dengan jawaban tersebut, boleh saja untuk menanyakan pada orang lain yang kita bertanya kepada seseorang itu berarti kita percaya bahwa mereka lebih tahu tentang hal tersebut. Jangan bersikap seolah-olah kita lebih paham kemudian mengajak debat dengan Qayyim pernah menjelaskanﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً“Jika anda duduk bersama seorang ahli ilmu, maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan.”Memang, kritis dalam bertanya itu perlu tapi harus diterapkan konsep sopan santun juga dalam bertanya. Kalau memang kita tidak mempercayai jawaban mereka, kenapa kita bertanya?Kelima, jangan membanding-bandingkan jawaban seseorang di depan orang yang menjawab pertanyaan kita. Misalnya ketika seseorang menjawab pertanyaan kita, lalu kita membalas, “tapi pendapatmu berbeda dengan si A”. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Bahkan, seorang kiai pun bisa saja berselisih pendapat antara satu sama lain! Maka, kita bisa tampung dulu jawaban-jawaban yang berbeda tersebut, lalu tanyakan pendapat orang lain lagi, jadi kita bisa tahu mana pendapat yang lebih kuat dan lebih sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada prinsip akhlak dalam Islam, sudah kewajiban kita untuk melakukan kegiatan tanya jawab. Berbagi ilmu walaupun sedikit saja pahalanya besar. Salah satu hadis riwayat Bukhari, dari Abdullah bin Amr, Nabi Muhammad SAW. bersabda “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat."Referensi/Daftar Pustaka

Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam mencari rizki.’ (HR. Thabrani). Ketiga, mendapatkan cinta Allah Ta’la. Dalam sebuah riwayat digambarkan :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Diantara Bentuk Tidak Adab Dalam Bertanya Alhamdulillah wa sholatu wa salamu alaa Rosulillah wa alaa ashabihi wa maa walaah. Seiring semakin berkembangnya keinginan ummat Islam untuk mengkaji dan mendalami kembali ajaran agama Islam, semakin banyak pula dibuka majelis-majelis ilmu yang disana dibacakan Al Qur’an, Hadits Nabi Shollallahu alaihi wa Sallam, perkataan para shahabat Rodhiyallahu anhum, pendapat para imam dan ulama’ Rohimahumullah. Demikian juga diantara bukti betapa hal ini berkembang pesar –hanya milik Allah segala pujian- adalah banyaknya kaum muslimin bertanya kepada orang yang mereka akui keilmuannya baik secara langsung di majelis ataupun melalui tulisan ataupun via telepon. Mudah-mudahan ini pertanda bahwa kita benar-benar merealisasikan firman Allah Subhana wa Ta’ala, فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. QS. An Nahl [16] 43 dan Al Anbiya’ [21] 7. Namun dari sekian banyak adab dalam bertanya maka ada beberapa hal yang ingin kita sampaikan sebagai tambahan perhatian kita ketika ingin bertanya kepada para ulama’, ustadz atau orang yang lebih berilmu dari kita. [1]. Tidak bertanya sebuah pertanyaan yang mengandung unsur memberat-beratkan diri penanya, pertanyaan yang penanya sudah tahu jawabannya dalam rangka merendahkan orang yang ditanya. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan hafidzahullah mengatakan[1], “Kita temukan atau kita mendengar kabar pada sebagian mejelis ilmu, ada sebagian penuntut ilmu yang bertanya suatu permasalahan yang padanya terkandung unsur memberat-beratkan masalah yang jelas terlihat. Bahkan yang lebih jelek lagi pertanyaan yang penanya sudah mengetahui jawabannya namun dia bertanya kepada gurunya dengan tujuan dalam rangka agar sang guru terlihat tidak mampu menjawabnya atau dengan tujuan agar gurunya terdiam tidak bisa menjawab atau dengan tujuan agar dia menunjukkan bahwa dia mampu menjawab pertanyaan yang gurunya tidak mampu menjawabnya kemudian anda merasa bahwa penanya tadi sebenarnya ingin menunjukkan jawabannya namun dalam bentuk yang samar. Maka yang demikian adalah bentuk adab yang buruk dalam mengajukan pertanyaan, bertanya dengan maksud merendahkan orang yang ditanya dan bentuk bertanya yang buruk karena niat bertanya yang buruk”. [2]. Bertanya suatu pertanyaan yang membuat orang yang ditanya tidak mampu menjawabnya atau dalam rangka merendahkannya. Beliau mengatakan[2], “Sebagian lain, bertanya bukan dengan maksud ingin membuat orang yang ditanyai terlihat lemah. Boleh jadi maksudnya baik namun penanya kurang beradab dengan adab penuntut ilmu ketika bertanya. Oleh karena itulah para ulama terdahulu mencela dengan keras orang yang demikian kebiasaannya. Adz Dzahabiy Rohimahullah menyebutkan dalam kitabnya, Ketika Imam Malik Rohimahullah dalam sebuah majelis ilmu sedang mengajarkan sebuah pengajian. Kemudian beliau ditanya tentang sebuah permasalahan hukum waris. Lalu beliau menjawab berdasarkan pendapat Zaid bin Tsabit Rodhiyallahu anhu. Maka Isma’il ibnu bintu As Sudiy mengatakan, Apa pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu anhuma tentang permasalahan itu ?’ Kemudian Imam Malik Rohimahullah memberi isyarat kepada para penjaga pintunya untuk menangkapku. Ketika mereka berkeinginan menangkapku, akupun meloncat dan membuat mereka tidak mampu menangkapku. Mereka bertanya kepada Imam Malik, Apa yang akan kami lakukan pada tempat tinta dan buku orang ini ?’ Beliau menjawab, Carikan kertas’. Maka mereka pun mendatangiku dan Imam Malik Rohimahullah bertanya, Anda berasal dari mana ?’ Aku menjawab, Dari Kufah’. Imam Malik Rohimahullah menjawab, Lalu dimanakah engkau tinggalkan adab ?’ Akupun menjawab, Sesungguhnya aku bertanya kepadamu dalam rangka mengambil manfaat darimu’. Beliau menjawab, Sesungguhnya Ali dan Abdullah bin Mas’ud abdullah dua orang yang tidak perlu diragukan keutamaannya. Namun orang-orang yang ada di sekitarku berpendapat dengan pendapatnya Zaid bin Tsabit Rodhiyallahu anhu. Jika engkau berada dalam sebuah kaum kemudian anda memulai pembicaraan tentang permasalahan yang tidak diketahui sekitarmu, maka sesungguhnya engkau telah memulai pembicaraan tentang sesuatu yang mereka benci”[3]. Kemudian beliau mengatakan, “Sesungguhnya diantara bentuk kesalahan dalam majelis adalah anda bertanya sesuatu yang anda sudah mengetahui jawabannya. Yang anda inginkan dari hal itu adalah menunjukkan kehebatan diri anda dan menunjukkan kurangnya ilmu orang lain. Maka ini bagian dari sikap yang haram dalam mendapatkan –ed. ilmu. Terlebih lagi jika hal itu pada orang yang lebih berilmu dari anda dan disertai sikap memberat-beratkan diri dalam bertanya”[4]. [3]. Bertanya sebuah pertanyaan yang kurang bermanfaat secara langsung pada diri penanya atau bahkan cenderung mengandung unsur terlalu jauh dari yang paling penanya butuhkan. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan hafidzahullah mengatakan[5], “Abu Ja’far Rohimahullah mengatakan, Aku datang untuk menghadiri majelisnya Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hambal. Kemudian aku bertanya, Apakah aku boleh berwudhu menggunakan air bunga ?’ Maka beliau menjawab, Aku tidak menyukai hal itu tidak boleh –ed.’. Kemudian aku bertanya lagi, Apakah aku boleh berwudhu menggunakan air mawar ?’ Maka beliau menjawab, Aku tidak menyukai hal itu tidak boleh –ed.’. Kemudian aku hendak berdiri lalu beliau memegangi pakaianku. Kemudian bertanya kepadaku, Apa yang engkau baca ketika hendak masuk ke mesjid ?’ Kemudian aku terdiam tidak mampu menjawabnya. Kemudian beliau bertanya lagi, Apa yang engkau baca ketika keluar dari mesjid ?’ Kemudian aku terdiam tidak mampu menjawabnya. Beliau mengatakan, Pergilah jangan bertanya hal-hal yang telalu jauh dari yang kamu butuhkan –ed. dan pelajari dahulu dzikir-dzikir sehari-hari tersebut’[6]. Mudah-mudahan bermanfaat. Sigambal, 18 Rojab 1435 H / 17 Mei 2014 M / Aditya Budiman bin Usman [1] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 61 cet. VI. [2] Idem, hal. 61-62. [3] Lihat Siyar Al Alaam An Nubaala’ hal. 177/IV. [4] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 62. [5] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 61 cet. VI. [6] Lihat Ath Thobaqoot hal 41/I, Siyar Al Alaam An Nubaala’ hal. 444/XIII. Akantetapi penuntut ilmu juga harus memiliki adab dan akhlak dalam menimbah ilmu tersebut. Kerena hakikat seorang penuntut ilmu yakni dengan menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak. Era teknologi saat ini telah memasuki era revolusi industri 4.0, era dimana semuanya serba digital atau kerap disapa dengan peradaban milenium atau era robotik. IbnuMajah dan dinilai shohih oleh Syaikh Nashir) (2). Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu dan ahlinya atau menurut dugaannya yang kuat dia mampu menjawab. Allah berfirman: "Maka bertanyalah kalian kepada ahlinya apabila kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7) (3). Bertanya dengan penuh penghormatan dan meyakini keahlian pihak Berikut8 Adab Jual Beli Online Dalam Islam: 1. Menggunakan Akad. Dalam kitab Fathul Mu’in, ijab dan kabul dalam transaksi jual beli adalah: الايجاب هو ما دل على التملِيك دلالة ظاهرة،والقبول هو ما دل علي التملُك كذالك. Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti
\n \nadab bertanya dan menjawab
Mryu8j2.