DALAM belajar kita membutuhkan panutan yang bisa mengajarkan ilmu. Dan dia adalah seorang guru. Ya, guru merupakan sosok yang mampu dan mau secara sukarela mentransfer ilmu kepada muridnya. Kita, sebagai orang yang menerima, perlu adanya keseriusan dalam menerima ilmu yang diberikan. Keseriusan dalam belajar, bukan hanya fkus pada materi pembelajaran saja. Guru pun perlu kita perhatikan. Sebab, gurulah yang mempunyai peran penting dalam pemberian ilmu kepada kita. Maka, ketika guru ada di depan kita, kita perlu memperhatikan ada-adab tertentu. Dan dalam Islam, sedikitnya ada 4 adab yang harus kita perhatikan. Apa sajakah itu? 1. Adab dalam Mendengarkan Pelajaran Bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaimana perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel. Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka. Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al-Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran. Yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain. Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu saat ini. Jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit suara pun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya. Belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya. 2. Adab Bertanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl 43. Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Di dalam Al-Quran terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa Alihi Salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu, “Khidir menjawab, sungguh, engkau Musa tidak akan sanggup sabar bersamaku,” QS. Al-Kahfi 67. Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir. “Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya,” QS. Al-Kahfi 70. Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, “Barakallahu fiik”, atau “Jazakallahu khoiron”, dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan shalat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya.” 3. Adab Berbicara Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para Sahabat Nabi ﷺ, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut. Mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya. Bahkan, Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah. Di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di hadis Abi Said Al-Khudry Radhiallahu Anhu juga menjelaskan, “Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah ﷺ kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara,” HR. Bukhari. 4. Adab Duduk Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.” Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.” Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.” Keempat hal itu perlu untuk kita perhatikan. Sebab, guru adalah panutan. Guru sumber ilmu. Dan kita tidak tidak akan mengetahui akhlak mulia seorang guru dan ilmu bermanfaat darinya jika kita tidak melakukan ada-adab tersebut dengan baik. Oleh karena itu, raihlah keberkahan dalam menuntut ilmu dengan memperhatikan adab-adab kepada guru. [] SUMBER
Akumenjawab, ‘Dari Kufah’. Imam Malik Rohimahullah menjawab, ‘Lalu dimanakah engkau tinggalkan adab ?’ Akupun menjawab, ‘Sesungguhnya aku bertanya kepadamu dalam rangka mengambil manfaat darimu’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya ‘Ali dan Abdullah bin Mas’ud abdullah dua orang yang tidak perlu diragukan keutamaannya.
Ditulis oleh Al-Ustadz Fahmi Abu Bakar Jawwas Al-Madinah, KSA الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما Syaikh Muhammad Al-Imaam hafidzahullaah berkata, “Dan Imam Asy-Syatibi rahimahullaah telah memperhatikan dengan menyebutkan di beberapa tempat yang dibenci di dalamnya suatu pertanyaan, kita meringkasnya sebagai berikut Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Tampak dari pertanyaan, penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. Dan larangan di dalamnya tidaklah sama, tetapi disana ada yang sangat dibenci, dan ada juga yang ringan, dan ada juga yang diharamkan dan ada juga tempat bagi ijtihad.” Al-Ibaanah 139. Keterangan 1. Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Seperti pertanyaan Abdullaah bin Hudzaafah radiyallaahu anhu kepada Rasulallaah shalallaahu alaihi wa sallam, “Siapakah ayahku?” 13/265 no. 7294, Muslim 4/1832 no. 2359 dari hadits Anas bin Maalik radhiallaahu anhu 2. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Seperti pertanyaan bani Israil kepada Nabi Musa alaihis salaam وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ٦٧قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ ٦٨قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ ٦٩قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ ٧٠قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ البقرة “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk untuk memperoleh sapi itu.” Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. QS. Al-Baqarah 67-71. 3. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Dan ini adalah khusus bagi yang belum diturunkan hukum di dalamnya. Hadits Rasulallaahu shalallaahu alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah aku dengan apa-apa yang telah aku wariskan kepada kalian karena sesungguhnya kebinasaan kaum sebelum kalian itu dengan banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, apa-apa yang telah aku larang darinya maka jauhilah, dan apa-apa yang telah aku perintahkan kepadanya, lakukanlah semampu kalian.” 13/251 no. 7288, Muslim 2/975 no. 1337 dari hadits Abu Hurairah radiyallaahu anhu 4. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Seperti larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallaam tentang mencari kekeliruan ulama haditsnya dhaif, dan perkara ini masuk kedalam no. 1 dan no. 3. Berkata Ash-Shan’ani rahimahullaah dan sesungguhnya larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallam yaitu mencari kekeliruan ulama agar mereka di bilang tergelincir dan akan menimbulkan fitnah, sesungguhnya pelarangan itu dikarenakan tidak bermanfaat di dalam agama, dan hampir-hampir tidak di dapati kecuali di dalam permasalahan yang tidak bermanfaat Subul As-Salaam. 5. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Seperti pertanyaan Mua’dzah bin Abdillaah rahimahallaah kepada Aisyah radiyallaahu anha tentang qadha puasa tanpa mengqadha shalat bagi wanita yang haidh. Aisyah radiyallaahu anha berkata, “Apakah kamu seorang Haruuriyyah yaitu tempat berdiamnya khawarij?.” HR. Muslim 1/265 no 335. 6. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Ini relatif tergantung pada perseorangan, kadang menurut si A pertanyaan itu beban baginya tetapi menurut si B itu bukan beban. قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ “Katakanlah hai Muhammad, “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang membeban-bebankan.” QS. Shaad86 7. Tampak dari pertanyaan,penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Hadits tentang lalat, melihat Allah subhanahu wa Ta’ala, dll. 8. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan seseorang kepada Imam Malik rahimahullaah mengenai Istiwaa Allah. Allah berfirman, هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ ال عمران٧ Artinya, “Dia-lah yang menurunkan Al kitab Al Quran kepada kamu. di antara isi nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal. 7. 9. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Telah ditanya Umar bin Abdil Aziiz rahimahullaah tentang peperangan Shiffiin. Beliau rahimahullaah berkata , “Itu adalah darah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kedua tanganku, maka aku tidak ingin menodainya dengan lisanku.” diriwayatkan oleh Al-Khaththaabi di dalam kitab Al-Uzlah 136, Ibnu Abdil Barr di dalam Jaami’ Al-Bayaan Al-Ilm 2/934. 10. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah atas kebenaran isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” QS. Al-Baqarah 204 Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ “Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” Muttafaqun alaihi Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu berkata Rasulullaah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ{ “Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” QS. Az-Zukhruf 58 [ dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani rahimahullaah di dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633] Kebanyakan faedah diambil dari Al-Muwaafaqaat 4/319-321 Yang mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya Abu Bakr Fahmi Abubakar Jawwas Darul Hadits bisy Syiher harasahallaah Hadramaut 3 Rabi’uts Tsaani 1432 H / 8 Maret 2011 Published Ditulis dalam artikel islami, ilmu, islam, Nasehat, Tanya Jawab, ummat islamKetahuiKisaran Gaji Pasaran Sebelum Menyatakan Berapa Gaji Yang Diharapkan. 3 3. Sesuaikan dengan Kemampuan. 1. Pikirkan Estimasi Berapa Gaji yang Diharapkan. Kebanyakan perusahaan menggunakan pertanyaan mengenai gaji yang Anda harapkan sebagai sebuah taktik. Ada juga perusahaan yang meminta kandidat untuk menuliskan besarnya gaji yang ◾ 12 Adab Bertanya Di Sosial Media ◾ Ikhlaskanlah diri karena Allah dalam bertanya, dan niatkan itu sebagai ibadah. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut dugaannya yang kuat ia mampu untuk menjawab pertanyaan. Memulai pertanyaan dengan salam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa yang bertanya kepada kalian sebelum ia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya” HR. Ibnu an-Najar, hadits dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadits dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816 Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka dipahami bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan dan telah menghidupkan sunnah. Hendaknya memperbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan dan mengingatkan dari segala kejelekan. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. Ketika telah selesai menulis pertanyaan maka sampaikan perkataan terima kasih, dan mendoakan ustadz yang akan menjawabnya. Janganlah mengadu domba diantara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz fulan telah berkata begini dan begitu”, dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya maka hendaknya berkata “Bagaimana pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu ?” Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan Hendaknya bersabar dalam menunggu jawaban yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga atau orang lain sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Jika masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. Hendaknya penanya tidak marah atau tersinggung ketika diluruskan pemahamannya atau cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata وقد كان السلف يحبون من ينبههم على عيوبهم ونحن الآن في الغالب أبغض الناس إلينا من يعرفنا عيوبنا ! Janganlah bertanya hanya sekedar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan, atau sekedar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya, penanya bertanya kepada seorang ustadz, karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu ia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya, dan jika jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mengingatkan kekurangan mereka, akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat benci kepada orang yang mengingatkan kekurangan kita” Minhajul Qashidin hal 196. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz jika ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi rahimahullah berkata “Orang alim ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya atau karena dia lupa” Irsyaad al-Ariif 1/24. Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya mengapa diri ini selalu cenderung kepada dosa dan maksiat serta sulit diajak untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, padahal saya sudah berusaha untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu dan berdoa kepada Allah agar dikuatkan iman ? Semoga ustadz beserta keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah Ta’ala. شكرا و جزاك الله خيرا ✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar
Skip to content HomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah Islam 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 1. Ikhlaskan diri karena Allah ﷻ dalam bertanya untuk mengetahui suatu masalah. 2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut perkiraannya yang kuat dia mampu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 3. Memulai pertanyaan dengan salam. “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa saja yang bertanya kepada kalian sebelum dia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya.” [HR. Ibnu an-Najar, hadis dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadis dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816] Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah ﷺ. Maka dipahami, bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan, dan telah menghidupkan Sunnah. 4. Hendaknya memerbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan, dan mengingatkan dari segala kejelekan. 5. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut, dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. 6. Ketika telah selesai menulis pertanyaan, maka sampaikanlah ucapan terima kasih, serta mendoakan ustadz yang nanti akan menjawabnya. 7. Janganlah mengadu domba di antara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz, Fulan telah berkata begini dan begitu.” Dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya, maka hendaknya berkata “Bagaimanakah pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu?” TANPA menyebut nama orang yang mengucapkan. 8. Hendaknya bersabar dalam menunggu jawabannya yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya, atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. 9. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga, atau orang lain, sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Apabila masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu, yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. 10. Hendaknya siapapun yang bertanya tidak marah atau tersinggung ketika sedang diluruskan pemahamannya, atau dari cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah رحمه الله berkata “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mau mengingatkan kekurangan mereka. Akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat membenci kepada orang yang telah mengingatkan kekurangan kita.” [Minhajul Qashidin hal 196] 11. Janganlah bertanya hanya sekadar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan. Atau sekadar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya penanya bertanya kepada seorang ustadz. Karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu dia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya. Dan apabila jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. 12. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz, seandainya ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi رحمه الله berkata “Orang alim ulama/ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja pas dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya, atau karena dia lupa.” [Irsyaad al-Ariif 1/24] Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya, mengapa diri ini yang selalu saja cenderung kepada dosa dan maksiat, serta sulit diajak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya? Padahal saya sudah berusaha keras untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu, dan berdoa kepada Allah taala agar dikuatkan iman. Semoga ustadz dan keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah taala. Penulis Ustadz Najmi Umar Bakkar najmiumar_official Ikuti kami selengkapnya di WhatsApp +61 450 134 878 silakan mendaftar terlebih dahulu Website Facebook Instagram NasihatSahabatCom Telegram Pinterest 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED Related Posts
AdabResepsi Pernikahan Islam. Ajaran Islam telah menetapkan adab dalam menyelenggarakan walimah agar tidak terjerembab ke dalam perkara yang dilarang. Mengutip Syekhona Abdul Aziz bin Fathi dalam Mausuu’atul Aadaab al-Islaamiyyah, berikut adab resepsi, perayaan pernikahan menurut Islam; 1. Niat yang Benar. ADAB MENGUCAPKAN SALAM﴿ آداب السلام ﴾] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسيPenyusun Majid bin Su'ud al-UsyanTerjemah Muzafar Sahidu bin Mahsun Eko Haryanto Abu Ziyad2009 - 1430﴿ آداب السلام ﴾ باللغة الإندونيسية »تأليف ماجد بن سعود آل عوشنترجمة مظفر شهيد محصونمراجعة أبو زياد إيكو هاريانتو2009 - 1430ADAB MENGUCAPKAN SALAM Yang paling pertama memerintahkan salam adalah Allah Yang Maha Tinggi, di mana Allah memerintahkan Adam alahis salam untuk mengucapkannya kepada para malaikat. Disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhari إِنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَ آدَمَ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلىَ أُلئِكَ اْلمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَايُجِيْبُوْنَكَ تَحِيَتُكَ وَتَحِيَّة ذُرِّيَتِكَ , فَقَالَ َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَقَالُوْا اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ "Sesungguhnya Allah Ta'ala saat setelah menciptakan Adam alahis salam, Dia berfirman kepada Adam "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat ini dan dengarkanlah dengan apakah mereka menjawabmu, sebagai ucapan penghormatan bagimu dan bagi keturunanmu". Lalu Adam berkata َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ mereka menegaskan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ…".[1] Dan pada masa awal kedatangan Nabi ﷺ di Madinah beliau memerintahkan para shahabat untuk menyebarkan salam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari A'isyah, Rasulullah bersabdaمَا حَسَدَتْكُمُ اْليَهُوْدُ عَلىَ شَئٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ"Orang-orang Yahudi tidak dengki kepadamu karena sesuatu, mereka dengki karena salam dan ucapan amin setelah membaca Al-Fatihah".[2] Disunnahkan untuk mengawali ucapan salam kepada orang lain, dan menjawabnya adalah wajib. Dan jika seseorang mengucapkan salam kepada sebuah jama'ah, kalau dijawab oleh semua jama'ah, maka hal itu lebih bagus, namun kalau dijawab oleh salah seorang dari mereka maka yang lain terbebas dari beban tersebut.[3] Ucapan salam yang paling baik adalah اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa seorang lelaki lewat di hadapan Rasulullah ﷺdalam sebuah majlis dan mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ , beliau bersabda "Sepuluh kebaikan", lalu lewatlah lelaki lain seraya mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َ Rasulullah mengatakan "Baginya duapuluh kebaikan". Lalu lewatlah lelaki lain sambil mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ maka Rasulullah mengatakan "Baginya tigapuluh pahala kebaikan".[4][5] Dimakruhkan memulai salam dengan ucapanاَلسَّلاَمُ ْ ُ عَلََيْكُمُ Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺلاَ تَقُلْ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ فَإِنَّ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ تَحِيَّةُ المَوْتَى "Jangnlah engkau mengatakan ,عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ sebab ucapan عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ adalah penghormatan bagi orang yang telah meninggal".[6] Dianjurkan untuk mengulangi salam tiga kali jika jama'ah tempat mengucapkan salam cukup banyak atau merasa ragu dengan pendengaran orang yang disalamkan kepadanya. Dan Rasulullah ﷺ jika mengucapkan salam maka beliau mengulanginya tiga kali.[7] Dianjurkan untuk menyebarkan salam kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang engkau tidak ketahui dan Rasulullah ﷺ bersabda إِنَّ مِنْ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كَانَتِ التَّحِيَّةُ عَلىَ اْلمَعْرِفَةِ"Sesungguhnya di antara tanda datangnya hari kiamat adalah penghormatan ucapan salam dilandaskan pada pengetahuan orang terhadap orang lain semata". Dalam riwayat lain disebutkanأَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلىَ الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَةِ "Seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lainnya dan dia tidak mengucapkan salam tersebut kecuali karena ia mengenalnya".[8] Begitu juga hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa sesorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ“Islam apakah yang terbaik? Beliau menjawab "Engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak kau kenal".[9] Bawasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma memasuki pasar dan tidaklah dia melewati seorangpun kecuali dia mengucapkan salam atasnya. Maka Thufail bin Abi Ka'ab berkata kepadanya Apakah yang engkau perbuat di pasar sementara dirimu tidak tinggal untuk berjual beli? Tidak bertanya tentang harga barang? Tidak menawar barang dan tidak pula duduk di majlis yang terdapat di pasar? Beliau menjawab Wahai Abu Bathn kinayah untuk orang yang besar perutnya sebab Thufail seorang yang berperut besar-kami hanya pergi untuk mengucapkan salam kepada orang yang kami temui".[10] Dianjurkan bagi orang yang datang untuk mengawali salam, dasarnya adalah kisah tentang tiga orang yang datang kepada Nabi ﷺ lalu mengucapkan [11] اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُم Termasuk sunnah bahwa seorang yang mengendarai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. Seandainya dua orang yang sedang mengendarai mobil atau hewan atau dua orang berjalan saling berjumpa, maka yang lebih utama adalah orang yang lebih kecil mengawali salam, seandainya orang yang lebih besar memulai salam maka dia mendapat pahala atas perbuatannya. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ dalam riwayat Abu Hurairah t"يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى اْلمَاشِي وَاْلمَاشِي عَلىَ اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلَكثِيْرِ" وفي راية للبخار" "يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ اْلكَبِيْرِ وَاْلمَارُ عَلَى اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلكَثِيْرِ""Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak"[12] Dalam riwayat lain disebutkan Orang yang kecil mengucapkan salam kepada orang yang lebih besar, orang lewat / berjalan kepada orang yang duduk dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak".[13] Apabila dua orang bertemu dan setiap mereka berdua mengawali ucapan salam maka setiap mereka berdua untuk menjawab salamnya. Syarhul Hidayah[14]. Para ulama dalam mazdhab Syafi'iy berkata Disunnahkan mengirim salam dan orang yang dipercayakan mengirim salam tersebut wajib menyampaikannya, inilah yang wajib dilakukan jika dia sanggup menanggungnya sebab dia diperintahkan untuk menyampaikan amanah, namun jika dia tidak sanggup menanggungnya maka dia tidak wajib menyampaikannya. Disebutkan di dalam kitab Al-Shahihaini dari A'isyah radhiallahu anha berkata Rasulullah ﷺbersabda "Wahai Aisayah ini Jibril datang untuk mengucapkan salam kepadamu". Dia menjawab وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ dan ditambahkan di dalam riwayat Bukhari "وَبَرَكَاتُهُ" disebutkan di dalam Syarah Muslim Didalamnya penjelasan tentang bolehnya orang asing yang bukan mahrom mengirim salam kepada perempuan asing lainnya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan perbuatan tersebut".[15] Menjawab orang yang membawa dan orang yang mengirim salam. Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ dan berkata Sesungguhnya bapakku mengirim salam untukmu". Rasulullah ﷺ menjawabnya[16]وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أبِيْكَ السَّلاَم Abu Dzar t berkata "Hadiah yang baik dan beban dengan ringan". Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengucapkan salam kepada wanita asing yang bukan mahrom, ada ulama yang melarang dan ada pula membolehkan, dan semoga yang lebih kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimhullah Jika perempuan tersebut sudah tua maka tidak apa-apa, namun jika masih muda maka tidak boleh.[17] Disunnahkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil, berdasarkan hadits riwayat Anas t bahwa dia melewati anak-anak dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu menceritakan bahwa "Rasulullah ﷺ mengerjakan hal tersebut".[18] Mengucapkan salam kepada orang yang terjaga, di tempat yang terdapat padanya orang lain sedang tertidur, dengan merendahkan suara untuk memperdengarkan salam kepada orang yang terjaga tanpa membangunkan mereka yang sedang tertidur, berdasarkan hadits riwayat Miqdad bin Al-Aswad dan disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa "Nabi ﷺ datang pada waktu malam lalu mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang sedang tertidur namun didengar oleh orang yang sedang terjaga…".[19] Dilarang mendahului ahli kitab dengan salam; berdasarkan sabda Nabi ﷺلاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَم ِفَإِذَا لَقِيْـتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ إِلىَ أَضْيَق"Janganlah kalian memulai orang yang Yahudi dan Nashrani dengan salam, jika kalian menemukan salah seorang dari mereka di jalanan maka desaklah mereka ke jalan yang lebih sempit".[20] Dan jika ingin menghormatinya maka hormatilah dia dengan selain salam. Dan apabila dia mengawali salam, maka hendaklah dia mengucapkan وَعَلَيْكُمْ[21] dan tidak mengapa setelah itu untuk bertanya kepadanya Bagaimana keadaanmu, bagaimana keadaan anak-anakmu, sebagaimana dibolehkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah.[22] Dilarang menyampaikan salam dengan isyarat, berdasarkan hadits riwayat Jabir bin Abdullah t secara marfu' kepada Nabi ﷺلاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْد فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah memberi salam seperti salamnya orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[23] Boleh memperdengarkan salam pada sebuah majlis yang dihadiri oleh campuran orang muslim dan musyrik, dan niat mengucapkan salam tersebut hanya dikhususkan bagi orang muslim saja.[24]لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَـهُوْدِ فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah engkau menyampaikan salam seperti apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[25] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat dan menjawabnya dengan isyarat, dan tidak terdapat baginya cara tertentu; terkadang dengan Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jari-jari, terkadang pula berisyarat dengan tangan atau memberikan isyarat dengan kepalanya dan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa beliau berisyarat dengan telapak tangan.[26] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur'an dan dia wajib menjawabnya. Dimakruhkan memberikan salam kepada orang yang sedang menjauh untuk membuang hajat, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu bahwa seorang lelaki lewat sementara Rasulullah ﷺ sedang kencing, lalu lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ namun beliau tidak menjawabnya.[27] Dianjurkan mengucapkan salam saat memasuki rumah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam saat rumah kosong; Dari Ibnu Umar t bahwa dia berkata Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakanاَلّسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ"Kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh".[28] Dianjurkan bagi seorang yang memasuki mesjid untuk shalat dua rekaat sebagai shalat tahiyatul mesjid sebelum mengucapkan salam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata …dan di antara petunjuknya adalah orang yang memasuki mesjid mulai dengan dua rekaat tahiyatul masjid kemudian barulah ia datang dan mengucapkan salam kepada jama'ah yang sedang berkumpul seperti yang dijelaskan dalam hadits al-musi' shalatahu seorang yang mempraktikkan shalatnya secara tidak sempurna.[29] Tidak diperbolehkan bagi seseorang memasuki mesjid saat imam sedang berkhutbah pada hari jum'at, sementara dia sendiri mendengar khutbah tersebut, maka dilarang baginya memberi salam kepada orang yang ada di mesjid, dan orang yang berada di dalam mesjid tidak diperbolehkan menjawab salam tersebut saat imam sedang berkhutbah, namun jika menjawabnya dengan isyarat maka itu diperbolehkan.[30]Jika orang yang ada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya lalu ingin menjabat tangannya saat imam sedang berkhutbah, maka dia boleh menjabat tangannya tanpa harus berbicara dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dengan khutbah yang pertama, dan jika seseorang mengucapkan salam saat khatib berkhutbah dengan khutbah yang kedua maka engkau menjawab salamnya setelah kahtib selesai dari khutbahnya yang kedua.[31] Dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabdaمَنْ بَدَأَ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِبْيُبوْهُ"Barangsiapa yang memulai dengan mengobrol sebelum mengucakan salam maka janganlah engkau menjawabnya".[32] Dalam lafaz Ibnu Ady dijelaskan bahwa "Mengucapakan salam dahulu sebelum bertanya, maka barangsiapa yang memulai kepadamu dengan berbicara sebelum mengucapakan salam maka janganlah engkau menjawabnya". Dan diriwayatkan oleh Jabir t secara marfu' Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَأْذَنُـوْا ِلمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالسَلاَم"Janganlah engkau mengizinkan orang yang tidak memulai dengan salam".[33] Termasuk sunnah mengucapkan salam ketika meninggalkan suatu majlis, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺإِذَا نْتَهَى أَحَـدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُـوْمَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلىَ بِأَحَقَّ مَِن اْلآخِـرَةِ"Apabila salah seorang di antara kalian telah sampai pada sebuah majlis maka hendaklah dia mengucapkan salam, dan jika dia ingin bangkit keluar maka hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terakhir dengan salam".[34] Meminyaki tangan dengan wewangian untuk berjabat tangan. Dari Tsabit Al-Banani bahwa Anas meminyaki tangannya dengan minyak wangi yang harum untuk berjabatan tangan dengan teman-temannya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah ditanya tentang hukum berjabat tangan setelah shalat fardhu, beliau menjawab “Berjabat tangan setelah menunaikan shalat fardhu bukan termasuk sunnah akan tetapi bid’ah”. Dan Al-Izz bin Abdusalam berkata “Berjabat tangan setelah melaksanakan shalat subuh dan asar adalah bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang yang telah berkumpul dengan orang yang akan disalaminya sebelum shalat, sebab sesungguhnya berjabat tangan disyari’atkan saat baru datang dan Nabi ﷺ setelah selesai melaksanakan shalat wajib, beliau membaca wirid-wirid yang disyari’atkan, beristigfar tiga kali lalu bubar.[35] Di antara kesalahan yang terjadi adalah meninggalkan salam saat baru bertemu sekalipun tidak lama berpisah, dan hadits Al-Musi’ Shalatahu adalah dalil disyari’atkanya mengucapkan salam seklipun pertemuan sebelumnya berlalu selang beberapa waktu. Dan Imam Nawawi rahimahullah memberikan bab di dalam kitab riadhus shalihin tentang hadits Al-Musi’ Shalatahu, yaitu bab isthbaabu I’adatis salam ala man takarrara liqaa’ahu ala Qurbin bi an dakhala tsumma kharaja tsumma dkhala fil haal au haala bainahumaa syajarotun au nahwaha/ Bab dianjurkannya mengulangi salam bagi orang yang pertemuannya berkali-kali selang beberapa saat, yaitu dalam masa yang berdekatan; sekedar masuk kemudian keluar lalu masuk pada saat yang sama atau dihalangi oleh sebuah pohon atau yang lainnya. Ada beberapa bentuk penghormatan lain yang disyari’atkan, seperti mengucapkan مَرْحَبًا Selamat datang, tetapi yang paling utama agar penghormatan ini diucapkan bersamaan dengan salam, maka tidak boleh mencukupkan diri dengannya tanpa dibarengi salam. Sebagaimana yang diriwaytkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata Saat utusan Abdul Qois mendatangi Nabi ﷺ, beliau menyambut mereka dengan mengucapkanمَـرْحَبًا بِالْـوَفْـدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى“Selamat datang dengan utusan yang datang tanpa terhina dan penyesalan”. Lalu mereka berkata Wahai Rasulullah! Kita adalah bagian dari penduduk desa Rabi’ah, dan jarak di antara kami dan dirimu terpisah oleh suku Mudhar, kami tidak bisa mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan perkara yang jelas, yang dengannya kami bisa masuk surga dan sebagai bekal yang kami akan dakwahkan kepada orang-orang di belakang kami..”.[36] Dalam hadits yang shahih Nabi ﷺ bersabdaإِذَا أَتىَ الرَّجُـلُ الْقَـوْمَ فَقَالُوْا مَرْحَبًا فَمَرْحَبًا بِهِ يَـوْمَ يَلْـقَى رَبَّهُApabila seseorang mendatangi suatu kaum kemudian mereka mengucapkan مَرْحَبًا maka keselamatan baginya pada hari dia bertemu dengan Tuhannya”.[37] Dan di antara cara memberikan penghormatan yang praktis adalah berjabat tangan, berpelukan dan mencium. Adapun brjabat tangan. Dijelaskan dalam hadits shahih dari Anas, dia berkata Pada saat penduduk Yaman mendatangi Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ berkata Telah datang kepadamu penduduk Yaman dan mereka adalah orang yang pertama datang dengan berjabat tangan”.[38]Diriwayakan dari Abu Dawud Rahimahullah dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا"Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah".[39] Dari Anas radhiallahu anhu Seorang lelaki berkata Wahai Rasulullah! Salah seorang di antara kami menemui sahabatnya yang lain, apakah dia harus tunduk kepadanya sebagai penghormatan baginya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut bertanya kembali Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut kembali bertanya "Apakah dia harus berjabat tangan dengannya?" Maka Rasulullah menjawab Ya, jika dia mau melakukannya".[40] Sebagaimana tidak dianjurkan untuk mencabut tangan saat berjabatan tangan sampai shahabatnya tersebut yang memulai mencabut tangannya sendiri, sebagimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik t bahwa dia berkata Bahwa Rasulullah ﷺ jika menyambut seseorang dan menjabat tangannya maka beliau tidak mencabut tangannya sendiri sampai orang tersebutlah yang memulai mencabut tangannya".[41]Adapun berpelukan. para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan khusus untuk menyambut orang yang baru datang dari perjalanan, sebagian ulama mengatakan bahwa berpelukan disyari'atkan juga dalam keadaan tidak musafir jika waktu berpisah cukup lama atau orang yang berkunjung adalah seorang yang mempunyai kedudukan dan wibawa dan mereka butuh dengan sikap seperti ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Turmudzi rahihullah dalam kitab Al-Syama'il dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ mendatangi rumah Abi Al-Tayhan-salah seorang shahabat-maka pada saat dia melihat bahwa yang datang adalah Rasulullah ﷺ, dia segera mendatangi beliau dan memeluk Rasulullah ﷺ padahal rumahnya ada di Madinah.[42]Adapun mencium. Maka para ulama menyebutkan dibolehkannya mencium kepala, adapun mencium tangan maka sebagian ulama membenci hal tersebut, disebutkan dari syekhul Islam rahimhullah bahwa sebagian ulama menyebutnya sebagai sajdah sugro sujud kecil.Adapun mencium kedua pipi dan mulut. Maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh, dan larangan ini menjadi kuat bahkan hukumnya menjadi haram jika dibarengi dengan meningkatnya syahwat. Yang disyari’atkan adalah mencium kepala. Dan sebagian mereka membolehkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang mulia jika seseorang melakukannya karena dorongan keistiqomahannya di dalam agama dan dimakruhkan mencium tangan selain mereka dan tidak diperbolehkan sama sekali mencium tangan seorang lelaki remaja yang tampan, dan disebutkan di dalam catatan pinggir fatawa Imam Nawawi rahimhullah Ta’ala Apabila seseorang ingin mencium tangan orang lain karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, kemuliaan dan kedudukannya atau yang lainnya dari kemuliaan karena agama maka hal itu tidak dimakruhkan bahkan dianjurkan, sebab Abu Ubaidah telah mencium tangan Umar radhiallahu anhu, namun jika karena kekayaan, harta, kekuasaan dan wibawa terhadap orang yang ahli dunia dan yang seperti mereka maka perbuatan itu sangat dibenci.[43] Tidak termasuk kebiasaan generasi salaf dari sejak Nabi ﷺ dan khulafair rasyidin membiasakan berdiri saat menyambut Nabi ﷺ, sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian besar orang, bahkan Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan tentang para shahabat bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai dari Nabi ﷺ, namun saat mereka melihat beliau, mereka tidak pernah beridiri untuk menyambutnya karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci perbuatan tersebut[44], akan tetapi terkadang mereka bangkit untuk menyambut orang yang baru datang untuk menemuinya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bangkit berdiri untuk menyambut Ikrimah, dan beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar saat Sa’ad bin Mu’adz ra kembali “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian”, yaitu setelah beliau kembali memberikan keputusan hukuman bagi Yahudi Bani Quraidhah.[45]Jika kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa menghormati orang yang baru datang dengan cara berdiri, dan seandainya ditinggalkan orang beranggapan bahwa hal tersebut berarti meninggalkan hak orang yang baru datang, sementara mereka belum mengetahui perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka yang lebih baik adalah berdiri menyambut orang yang baru datang tersebut sebab hal ini lebih baik dalam menjaga kedamaian antar sesama dan menghindarkan timbulnya permusuhan dan saling benci. Adapun orang mengetahui bahwa kebiasaan suatu masyarakat adalah berbuat sesuatu yang sesuai dengan sunnah, maka meniggalkan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang tidak termasuk menyakiti orang yang baru datang tersebut.[46][47]Dianjurkan bagi orang yang terhalang menjawab salam sudaranya untuk meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasannya. Diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi ﷺ mengutusnya ke negeri Yaman, dia menceritakan "Aku mendatangi Nabi ﷺ sambil mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawabku, akhirnya hatiku merasakan sesuatu yang Allah lebih tahu dengannya, aku berkata di dalam diriku Jangan-jangan beliau marah karena keterlambatanku mendatanginya”, kemudian, aku kembali mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tetap tidak menjawab salamku, maka aku merasa tidak enak di dalam hatiku lebih dari apa yang aku rasakan pada salam yang pertama, lalu aku kembali mengucapkan salam yang ketiga untuknya, kemudian beliau menjawab salamku, lalu bersabda "Hanya sanya yang menghalangi aku menjawab salammu adalah karena aku sedang shalat”. Dan pada saat itu beliau sedang shalat di atas hewan tunggangannya dan tidak menghadap kiblat.[48] Mengucapkan salam dengan lisan dan isyarat secara bersamaan kepada orang yang bisu dan tuli.[49] Disyari’atkan untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Imam Bukhari berkata dalam kitabnya Al-Adabul Mufrod Bab Jawabul Kitab, dari Ibnu Abbas, dia berkata “Saya berpendapat harus menjawab salam yang tertulis di dalam kitab sama seperti menjawab salam yang terucap”.[50][1] HR. Bukhari no 3326. Muslim no2841.[2] HR. Ibnu Hibban no 856, dishahihkan oleh Albani.[3]Al-Nawawi syarah shahih Muslim 2160.[4] Abu Dzakaria Al-Nawawi mengatakan Dianjurkan bagi orang yang mengucapkan salam untuk memulainya dengan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ yaitu menyebutkannya dengan menggunakan kata ganti plural sekalipun sesorang mengucapkan salam kepada satu orang saja. Dan orang yang menjawabnya mengatakan وعَلََيْكُمْ اَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ. Al-Adab Al-Syariyah 1/359.[5] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 986, Albani mengatakan Shahih.[6] Sunan Abu Dawud no 5209, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.[7] Semua riwayat tentang mengulangi salam menyimpulkan bahwa mengulangi salam dilakukan pada kondisi tertentu, dan Imam Al-Nawawi mengatkan bahwa mengulangi salam dilakukan apabila jama'ah tempat mengucapkan salam tersebut berjumlah banyak Riyadhus Shalihin hal. 291. Dan mengulangi ucapan salam untuk meliputi semua jama'ah. Dan Ibnu Hajar mengatakan rahimahullah mengatakan bahwa mengulangi salam dilakukan jika seseorang merasa ragu kalau-kalau orang yang diberikan salam kepadanya tidak mendengarkan ucapan salam tersebut. Fathul Bari hadits no 6244, dan Zadul Ma'ad 2/418.[8] HR. Bukhari no 6244.[9] HR. Bukhari no12 dan Muslim no 39.[10] Al-Adabus Syar'iyah 1/396.[11] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no 986, dan Albani mengatakan Shahih.[12] HR. Bukhari no 6232. Muslim no 2160.[13] HR. Bukahri no 6231.[14] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[15] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[16] HR. Abu Dawud no 5231 dihasankan oleh Albani[17] Al-Adabus Syar'iyah 1/352.[18] HR. Bukahri no 6247.[19] HR. Muslim no 2055.[20] HR. Muslim no 2167[21] Kecuali jika ucapan selamat yang mereka lontarkan cukup jelas dan tidak membawa makna yang samar, maka dalam hal ini boleh bagi sesorang untuk menjawabnya, berdasarkan keumuman makna yang terkandung dalam firman Allah I وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا"Apabila kalian diberikan suatu penghormatan maka balasalah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan hal yang sama".[22] Jika ada yang bertanya Bagaimana dengan sikap Nabi ﷺ yang mengawali salam kepada orang kafir dengan mengatakanسَلاَمٌ عَلىَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى...؟ keselamatan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Para mufassirin menyebutkan bahwa ucapan tersebut bukan penghormatan tetapi maksudnya adalah orang yang masuk Islam akan selamat dari adzab Allah. Oleh karena itu disebutkan setelahnya bahwa azab akan menimpa orang yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan Allah, maka jawabannya adalah bahwa beliau tidak mengawali orang kafir dengan mengucapkan salam secara sengaja, sekalipun lafaz hadits ini seakan mengisyaratkan makna tersebut. Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/38.[23] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, An-Nawawi 367.[24] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, Al-Nawawi 367[25].Fathul Bari 11/16, adapun tentang hadits Asma' binti Yazid yang mengatakan "Nabi saw mengulurkan tangannya kepada jama'ah perempuan saat menyampaikan salam". HR. Turmudzi no 2697, Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1047, 1003, Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih, Imam Nawawi mengatakan bahwa kemungkinan bahwa Nabi saw mengumpulkan antara isyarat dengan ucapan salam, sebagimana yang disebutkan dalam riwayat Abi Dawud فَسَلَّمَ عَلَيْهِ dan mengucapkan salam kepadanya, Al-Adzkar hal. 356.[26] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya pada jilid ke 22, menyebutkan bahwa Jika orang yang sedang shalat mengetahui cara menjawab salam dengan isyarat maka dibolehkan menyampaikan salam kepadanya, jika dia tidak mengetahuinya maka sebaiknya tidak mengucapkan salam kepadanya agar shalat mereka yang wajib tidak terputus dengan perbuatan yang sunnah, sebab bisa jadi orang tersebut menjawab salam secara lisan sehingga menimbulkan kekurangan bagi shalatnya.[27] HR. Muslim no 370[28] Al-Adabul Mufrod no 1055 dan dihasankan oleh Al-bani.[29] Zadul Ma'ad 2/413-414.[30] Fatawa Lajnah Da'imah 8/243.[31]Fatawa Lajnah Da'imah 8/246 Saudi Arabia.[32] HR. Al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Abu Na'im dalam kitab Al-Hulyah dihasankan oleh Al-Bani dalam Silsilatus Shahihah no 816.[33] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Shahihah 817.[34] HR. Turmudzi nno 2861, Al-Bukahri dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1008 dan Albani mengatakan hadits Shahih.[35] Al-Muhkamul Matiin Fi Ikhtisharul Qaulul Mubiin Fi Aktha’al Mushalliin, Mashur bin Hasan Ali Salman.[36] Shahih Bukhari no 5708.[37] As-Silsilatus Shahihah no 1189[38] HR. Abu Dawud no 5212[39] HR. Abu Dawud no 5212 dan Albani mengatakan bahawa hadits ini shahih.[40] HR. Turmudzi no2728, dan dikeluarkan oleh Alabni dalam kitabnya Sililatus Shahihah no160 1/288.[41] HR. Turmudzi no 2490, dishahihkan oleh Albani dengan berbagai jalan dalam kitab Al-Sisilatus Shahihah no 2485, 5/635[42] Al-Turmudzi no 2292.[43] Albani rahimhullah menegaskan dalam kitab Al-Silsilatus Shahihah 1/251 bahwa mencium tangan orang yang alim dibolehkan dengan tiga syarat1. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, di mana orang yang alim tersebut secara sengaja mengulurkan tangannya kepada para Hal tersebut tidak menjadikan orang yang alim tersebut sombong terhadap orang Perbuatan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah berjabatan dalam fatwa syekh Ibnu Humaed rahimhullah “Tidak baik bagi seorang lelaki mencium mulut ibunya dan tidak pula mulut anaknya,, begitu juga kakak laki-laki tidak diperbolehkan mencium mulut adik perempuannya, dan bibi dari bapak, bibi dari ibu serta salah seorang mahromnya, mencium mulut khusus bagi seorang suami.[44] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 946, dan terdapat sedikit perbedaan lafaz, Albani berkata Shahih.[45]HR. Bukhari no 6262.[46] Majmu’ fatawa 1/374-375[47] Ibnu Hajar rahimhullah berkata secara umum, jika berdiri untuk menyambut seseorang dianggap sebagai penghinaan dan bisa menimbulkan kerusakan maka hal itu tidak boleh dilakukan, dan makna inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdis Salam Fathul Bari 11/56. Ahlul Ilmi menjelaskan bahwa berdiri tersebut dibagi menjadi tiga macam1/Berdiri untuk mendatangi seseorang, maka hal ini tidak mengapa, sebab Nabi ﷺ saat kedatangan Sa’d bin Mu’adz t setelah memberikan hukuman kepada Yahudi dari Bani Quraidhah, Rasulullah ﷺ bersabda Berdirlah menuju pemimpin kalian HR. Bukhari no 4121, Muslim no untuk menyambut kedatangan seseorang, hal ini juga tidak mengapa, apalagi jika masyarakat menjadikannya sebagai kebiasaan, dan orang yang datang menganggap bahwa tidak berdiri untuk mneyambutnya adalah penghinaan, sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut seperti yang dijelaskan di dalam sunnah, namun apabila masyarakat terbiasa dengan perbuatan seperti itu maka hal tersebut tidak mengapa untuk menghormati seseorang. Seperti seseorang duduk lalu salah seorang sebagai ketua berdiri untuk mengagungkannya, maka perbautan seperti ini terlarang. Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَقُوْمُوْا كَمَا تَقُوْمُوْا اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًاJanganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ajam berdiri dalam mengormati sebagian mereka atas sebagian lannya” HR. Abu Dawud no 5230, dan dilemahkan oleh syekh Albani rhimhullah dalam kitab Silsilatud Dhaifah no 346. Syarhu Riadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin 1/ berdiri untuk kebaikan dan kemaslahatan, seperti berdirinya Ma’qil bin Yasar untuk mengangkat ranting sebuah pohon dari Rasulullah ﷺ saat berbai’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, dan berdirinya Abu Bakr t untuk melindunginya dari terik matahari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq maka perbuatan ini adalah mustahab.[48] Al-Adabus Syar’iyah 1/400.[49] Al-Aadbus Syar’iyah 1/402.[50] Al-Adabul Mufrod no 1117 dengan sanad yang hasan.Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan mengucapkan salam, baik saat memasuki rumah orang lain mau pun bertemu sahabat di jalan. Bahkan Allah SWT melarang umat Islam masuk ke rumah orang lain sebelum mengucapkan salam. Seperti hadits dibawah yang menjelaskan tentang فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ Artinya“…Maka apabila kamu memasuki suatu rumah hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri…” QS an-Nur [24] 61. Allah SWT berfirman di dalam Surat An-Nur ayat 27 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Keutamaan mengucap salam juga diriwayatkan dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih dari Abdullah bin Amr bin al-Ash,” Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Islam apakah yang paling baik?’ Beliau Rasulullah SAW menjawab, Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal.” Betapa pentingnya meminta izin sebelum memasuki sebuah rumah yang bukan milik sendiri. Cara ini merupakan salah satu kaidah dalam bersilaturahim. Dan, begitu indah akhlak seseorang yang selalu mengawali ucapan salam kepada siapa pun yang ditemuinya. Sabda rasullullah وعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Kaidah salam yang lain juga mengatur rendah dan tingginya suara saat mengucapkan salam. rutama ketika malam hari. Mengucapkan salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi membangunkannya. Adab Mengucapkan Salam Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda “Yang muda memberi salam kepada yang tua. Yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang lebih banyak.” Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Dan anak kecil mengucapkan salam kepada yang lebih besar.” Adapun hadits dari Nabi SAW yang berbunyi وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ Nabi SAW bersabda, “Siapa yang memulai salam ketika bertemu dengan orang, maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Hadis Keempat وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُ Nabi SAW bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.” Memberikan salam kepada saudara muslim sangat dianjurkan, lalu bagaimanakah hukum menjawab salam dari seorang muslim? Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Hal ini dipertegas dalam surat An-Nisa ayat 86, dimana Allah SWT berfirman وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا Artinya “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. Selain itu menjawab salam kepada sesama muslim adalah hal baik bagi orang yang mengucapkan salam tersebut untuk dijawab atau dibalas. Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda حقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ “Hak sesama Muslim ada lima membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” HR. Bukhari Muslim Ucapan salam disebut juga tahiyyatul islam dan sesungguhnya ucapan salam ini jauh lebih baik dari pada sebuah sapaan gaul. Seperti yang saat ini umum digunakan oleh generasi muda yang telah dirasuki oleh tradisi budaya barat. Naudzubillah. Bagaimana Jika Salam yang Tidak Dijawab? Apabila kita mengucapkan salam berarti kita sedang mendoakan keselamatan kepada orang yang kita berikan salam. Adapun doa ini akan dibalas oleh doa malaikat untuk orang yang mengucapkan salam. Walaupun orang yang kita berikan salam tidak menjawab salam kita. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda “Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka, namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka”. Macam-macam Adab Salam Mengucapkan salam. Saat bertemu dan berpisah. Salam hendaknya didengar pihak yg diberi salam. Salam secara lengkap lebih baik. Segera bersalam sebelum didahului yg lain yang muda bersalam kepada yg tua. Hindari salam kepada mereka yg membuang hajat. Tidak bersalam kepada orang kafir. Ada hukum bersalaman dengan non muslim yang patut kamu ketahui. Demikianlah adab-adab yang bisa kita perhatikan dalam mengucapkan dan menjawab salam. Semoga menambah wawasan kita bersama.
Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam mencari rizki.’ (HR. Thabrani). Ketiga, mendapatkan cinta Allah Ta’la. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Diantara Bentuk Tidak Adab Dalam Bertanya Alhamdulillah wa sholatu wa salamu alaa Rosulillah wa alaa ashabihi wa maa walaah. Seiring semakin berkembangnya keinginan ummat Islam untuk mengkaji dan mendalami kembali ajaran agama Islam, semakin banyak pula dibuka majelis-majelis ilmu yang disana dibacakan Al Qur’an, Hadits Nabi Shollallahu alaihi wa Sallam, perkataan para shahabat Rodhiyallahu anhum, pendapat para imam dan ulama’ Rohimahumullah. Demikian juga diantara bukti betapa hal ini berkembang pesar –hanya milik Allah segala pujian- adalah banyaknya kaum muslimin bertanya kepada orang yang mereka akui keilmuannya baik secara langsung di majelis ataupun melalui tulisan ataupun via telepon. Mudah-mudahan ini pertanda bahwa kita benar-benar merealisasikan firman Allah Subhana wa Ta’ala, فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. QS. An Nahl [16] 43 dan Al Anbiya’ [21] 7. Namun dari sekian banyak adab dalam bertanya maka ada beberapa hal yang ingin kita sampaikan sebagai tambahan perhatian kita ketika ingin bertanya kepada para ulama’, ustadz atau orang yang lebih berilmu dari kita. [1]. Tidak bertanya sebuah pertanyaan yang mengandung unsur memberat-beratkan diri penanya, pertanyaan yang penanya sudah tahu jawabannya dalam rangka merendahkan orang yang ditanya. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan hafidzahullah mengatakan[1], “Kita temukan atau kita mendengar kabar pada sebagian mejelis ilmu, ada sebagian penuntut ilmu yang bertanya suatu permasalahan yang padanya terkandung unsur memberat-beratkan masalah yang jelas terlihat. Bahkan yang lebih jelek lagi pertanyaan yang penanya sudah mengetahui jawabannya namun dia bertanya kepada gurunya dengan tujuan dalam rangka agar sang guru terlihat tidak mampu menjawabnya atau dengan tujuan agar gurunya terdiam tidak bisa menjawab atau dengan tujuan agar dia menunjukkan bahwa dia mampu menjawab pertanyaan yang gurunya tidak mampu menjawabnya kemudian anda merasa bahwa penanya tadi sebenarnya ingin menunjukkan jawabannya namun dalam bentuk yang samar. Maka yang demikian adalah bentuk adab yang buruk dalam mengajukan pertanyaan, bertanya dengan maksud merendahkan orang yang ditanya dan bentuk bertanya yang buruk karena niat bertanya yang buruk”. [2]. Bertanya suatu pertanyaan yang membuat orang yang ditanya tidak mampu menjawabnya atau dalam rangka merendahkannya. Beliau mengatakan[2], “Sebagian lain, bertanya bukan dengan maksud ingin membuat orang yang ditanyai terlihat lemah. Boleh jadi maksudnya baik namun penanya kurang beradab dengan adab penuntut ilmu ketika bertanya. Oleh karena itulah para ulama terdahulu mencela dengan keras orang yang demikian kebiasaannya. Adz Dzahabiy Rohimahullah menyebutkan dalam kitabnya, Ketika Imam Malik Rohimahullah dalam sebuah majelis ilmu sedang mengajarkan sebuah pengajian. Kemudian beliau ditanya tentang sebuah permasalahan hukum waris. Lalu beliau menjawab berdasarkan pendapat Zaid bin Tsabit Rodhiyallahu anhu. Maka Isma’il ibnu bintu As Sudiy mengatakan, Apa pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu anhuma tentang permasalahan itu ?’ Kemudian Imam Malik Rohimahullah memberi isyarat kepada para penjaga pintunya untuk menangkapku. Ketika mereka berkeinginan menangkapku, akupun meloncat dan membuat mereka tidak mampu menangkapku. Mereka bertanya kepada Imam Malik, Apa yang akan kami lakukan pada tempat tinta dan buku orang ini ?’ Beliau menjawab, Carikan kertas’. Maka mereka pun mendatangiku dan Imam Malik Rohimahullah bertanya, Anda berasal dari mana ?’ Aku menjawab, Dari Kufah’. Imam Malik Rohimahullah menjawab, Lalu dimanakah engkau tinggalkan adab ?’ Akupun menjawab, Sesungguhnya aku bertanya kepadamu dalam rangka mengambil manfaat darimu’. Beliau menjawab, Sesungguhnya Ali dan Abdullah bin Mas’ud abdullah dua orang yang tidak perlu diragukan keutamaannya. Namun orang-orang yang ada di sekitarku berpendapat dengan pendapatnya Zaid bin Tsabit Rodhiyallahu anhu. Jika engkau berada dalam sebuah kaum kemudian anda memulai pembicaraan tentang permasalahan yang tidak diketahui sekitarmu, maka sesungguhnya engkau telah memulai pembicaraan tentang sesuatu yang mereka benci”[3]. Kemudian beliau mengatakan, “Sesungguhnya diantara bentuk kesalahan dalam majelis adalah anda bertanya sesuatu yang anda sudah mengetahui jawabannya. Yang anda inginkan dari hal itu adalah menunjukkan kehebatan diri anda dan menunjukkan kurangnya ilmu orang lain. Maka ini bagian dari sikap yang haram dalam mendapatkan –ed. ilmu. Terlebih lagi jika hal itu pada orang yang lebih berilmu dari anda dan disertai sikap memberat-beratkan diri dalam bertanya”[4]. [3]. Bertanya sebuah pertanyaan yang kurang bermanfaat secara langsung pada diri penanya atau bahkan cenderung mengandung unsur terlalu jauh dari yang paling penanya butuhkan. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan hafidzahullah mengatakan[5], “Abu Ja’far Rohimahullah mengatakan, Aku datang untuk menghadiri majelisnya Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hambal. Kemudian aku bertanya, Apakah aku boleh berwudhu menggunakan air bunga ?’ Maka beliau menjawab, Aku tidak menyukai hal itu tidak boleh –ed.’. Kemudian aku bertanya lagi, Apakah aku boleh berwudhu menggunakan air mawar ?’ Maka beliau menjawab, Aku tidak menyukai hal itu tidak boleh –ed.’. Kemudian aku hendak berdiri lalu beliau memegangi pakaianku. Kemudian bertanya kepadaku, Apa yang engkau baca ketika hendak masuk ke mesjid ?’ Kemudian aku terdiam tidak mampu menjawabnya. Kemudian beliau bertanya lagi, Apa yang engkau baca ketika keluar dari mesjid ?’ Kemudian aku terdiam tidak mampu menjawabnya. Beliau mengatakan, Pergilah jangan bertanya hal-hal yang telalu jauh dari yang kamu butuhkan –ed. dan pelajari dahulu dzikir-dzikir sehari-hari tersebut’[6]. Mudah-mudahan bermanfaat. Sigambal, 18 Rojab 1435 H / 17 Mei 2014 M / Aditya Budiman bin Usman [1] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 61 cet. VI. [2] Idem, hal. 61-62. [3] Lihat Siyar Al Alaam An Nubaala’ hal. 177/IV. [4] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 62. [5] Ma’alim Fi Thoriq Tholabil Ilmi hal. 61 cet. VI. [6] Lihat Ath Thobaqoot hal 41/I, Siyar Al Alaam An Nubaala’ hal. 444/XIII. Akantetapi penuntut ilmu juga harus memiliki adab dan akhlak dalam menimbah ilmu tersebut. Kerena hakikat seorang penuntut ilmu yakni dengan menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak. Era teknologi saat ini telah memasuki era revolusi industri 4.0, era dimana semuanya serba digital atau kerap disapa dengan peradaban milenium atau era robotik. IbnuMajah dan dinilai shohih oleh Syaikh Nashir) (2). Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu dan ahlinya atau menurut dugaannya yang kuat dia mampu menjawab. Allah berfirman: "Maka bertanyalah kalian kepada ahlinya apabila kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7) (3). Bertanya dengan penuh penghormatan dan meyakini keahlian pihak Berikut8 Adab Jual Beli Online Dalam Islam: 1. Menggunakan Akad. Dalam kitab Fathul Mu’in, ijab dan kabul dalam transaksi jual beli adalah: الايجاب هو ما دل على التملِيك دلالة ظاهرة،والقبول هو ما دل علي التملُك كذالك. Ijab adalah bukti yang menunjukan atas penyerahan dengan bukti Mryu8j2.